DIKI WAHYUDI/RADAR MANDALIKA ALAT TANGKAP: Dua orang nelayan saat memperlihatkan pocong atau alat tangkap baby lobster di Pantai Gerupuk Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, belum lama ini.

Berjuang Sejak Tahun 2011, 25 Orang Warga Awang Ditangkap Polisi

Dulunya para nelayan lobster di sekitar laut Selatan Kabupaten Lombok Tengah sempat “Merdeka”. Saat itu diperbolehkan pemerintah ekspor benih lobster ke Vietnam. Namun setelah muncul pelarangan di era Menteri Susi Pudjiastuti, pengakuan warga sekitar 25 orang warga Awang Desa Mertak, Kecamatan Pujut ditangkap polisi.

DIKI WAHYUDI-LOMBOK TENGAH

KADANG di atas kadang di bawah. Seperti itulah kehidupan manusia di muka bumi ini. Sama halnya dirasakan para nelayan penangkap benih lobster di NTB, lebih khususnya dirasakan nelayan lobster di sekitar laut Selatan Lombok Tengah.

Dari cerita para nelayan lobster, sejak tahun 2007 mereka sudah mulai menangkap bibit lobster. Namun dulunya pasarnya tidak begitu jelas. Bahkan ekspor secara jumlah besar mulai mereka lakukan pada tahun 2013 silam.

Dulunya, sebelum menangkap baby lobster, nelayan di Awang dan sekitarnya focus menangkap benih ikan kerapu tahun 2010. Pada saat itu, harga jual ikan kerapu cukup menggiurkan. Tapi para nelayan di sana kalah dalam modal pakan, sebab benih ikan kerapu harus dipelihara beberapa bulan baru dilakukan penjualan dengan jumlah besar.

“Jadi saya dari tahun 2007 sudah tangkap bibit lobster,” ungkap nelayan dari Awang Desa Mertak, Pamit kepada Radar Mandalika, belum lama ini.

Pamit mengaku, dia merupakan orang pertama menangkap bibit lobster. Tapi diakuinya dulu tidak tahu harus dijual ke mana. Namun dalam bisnis ini, dijelaskannya ada peran besar dari Buntaran yang mencari pasar di luar. Dari pasar gurita, kerang dan bibit lobster. Secara kebetulan Buntara ada jaringan dan memang dia orang dinas di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan memiliki jabatan untuk wilayah Lombok.

“Kami sering ngadu ke Pak Buntaran. Alhamdulillah kami pun dibina. Tahun 2011 ada tamu dari Bali dia bos segala macam bisnis, dia juga ikut mempelajari tentang lobster,” ungkapnya.

Dilanjutkan cerita Pamit, bos dari Bali ini pun mulai masuk ke Vietnam. Di sana pembisnis yang merupakan rekan dari Buntaran ini, melakukan pembinaan para nelayan di Vietnam dan berhasil. Nelayan di sana melakukan budidaya dan harga jual lobster cukup menggiurkan.

“Akhirnya dicoba kirim bibit dari Indonesia ke Vietnam, sampai sana masih hidup. Ya mulai dari situ kita mulai coba,” tuturnya.

Masuk pada pemerintahan Presiden SBY sekitar tahun 2012 muncul pelarangan menangkap benih lobster dengan alasan khawatir lobster akan habis. Khususnya lagi bagi lobster yang sedang bertelur.

“Iya kami saat itu, kalau hasil tangkapan sedang bertalur kami lepas lagi. Pada tahun yang sama 2012 mulai ada permintaan bos itu minta kita kirim 3 ribu benih ke Vietnam. Dulu harga per ekor 10 ribu jenis pasir, mutiara 25 ribu,” ceritanya lagi.

Pada saat itu kata Pamit, semua lancer dan dengan sekejap merubah wajah perekonomian masyarakat pesisir pantai di Awang dan sekitarnya. Para petugas bank berbondong-bondong ke nelayan menawarkan pinjaman modal. Karena memang paling sedikit diperoleh uang nelayan hasil jual benih lobster Rp 1 juta. bahkan kadang cuaca bagus tembus Rp 5 juta.

Pada tahun 2014-2015 kondisi para nelayan lobster masih pada puncak kejayaan. Bahkan diperkirakan puluhan hingga ratusan juta perputaran uang di Awang per harinya pada bisnis jual beli benih lobster.

“Tidak lama saat Menteri Susi keluarlah Permen nomor 1 dan revisi nomor 6 tahun 2015 yang berbunyi pelarangan penangkapan benih lobster. Mulai disitu kami banyak diam-diam melakukan penangkapan dan penjualan. Tapi sekitar 25 orang nelayan Awang ditangkap polisi gara-gara ini,” ungkap Pamit.

Bahkan cerita yang Pamit terima dari pengepul lobster Lombok. Setidaknya ada 100 nelayan di Indonesia ditangkap gara-gara melakukan penangkapan dan penjualan lobster saat itu.

“Sejak itu kami mulai cemas. Seperti orang jual narkoba rasanya, kalau ada orang mondar-mandir pakai sepatu kami anggap itu polisi mau tangkap kami,” ceritanya kembali.

Namun angin segar kembali bertiup ke arah nelayan di era menteri Edy Prabowo. Mentri dari partai Gerindra ini membolehkan ekspor lagi. Tapi setelah Edy dililit kasus suap benih lobster, nelayan kembali gigit jari.

“Kami merasa terbantu dan Pak Edy ini lebih berpihak kepada kami. Mana mungkin lobster akan punah di laut, orang jumlahnya lebih banyak dari pada manusia,” sentilnya.(*)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 284

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *