Suryadi Jaya Purnama (IST/RADAR MANDALIKA)

JAKARTA – Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Suryadi Jaya Purnama merespon kondisi PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang terancam tidak dapat mengganti 10 unit rangkaian kereta rel listrik (KRL) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang akan pensiun pada tahun 2023 ini serta 19 unit pada tahun 2024.

Sebab, menurut pria yang akrab disapa SJP ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menolak usulan KCI untuk mengimpor rangkaian kereta bekas dari Jepang dan meminta perseroan membeli produk dalam negeri dari PT Industri Kereta Api (INKA).

“Hambatan pengadaan tersebut berpotensi menggerus kapasitas angkut KRL Jabodetabek yang saat ini mencapai 1,2 juta penumpang per hari. Sedangkan untuk melayani 1.081 perjalanan per hari, termasuk rute pengumpan, KCI membutuhkan minimal 96 rangkaian kereta. Jika jumlah rangkaian berkurang, pasti mempengaruhi layanan. Sekarang saja penumpang sudah berdesakan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sendiri telah meningkatkan target jumlah penumpang KRL Jabodetabek menjadi 2 juta orang per hari,” terang Anggota Komisi V DPR RI ini.

Namun demikian, imbuhnya, keinginan ini belum ditunjang oleh jumlah armada yang mencukupi, apalagi usia KRL yang ada saat ini masih banyak yang mencapai usia di atas 50 tahun.

“Paparan KCI dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada tanggal 6 Juli 2022 menyebutkan armada KRL saat ini berusia 50 – 59 tahun sekitar 10%,  40 – 49 tahun (13%) dan 30 – 39 tahun (77%),” sebut Suryadi.

Untuk itu, kata SJP, selain dibutuhkan penambahan jumlah armada KRL, dibutuhkan juga peremajaan sejumlah rangkaian KRL.

“Selain mengimpor rangkaian KRL eks Jepang sebanyak 29 unit pada tahun 2023-2024, KCI telah berkomitmen membeli 16 rangkaian KRL baru buatan INKA senilai Rp 4 triliun. Kontrak pengadaan kereta buatan domestik itu baru akan diteken pada bulan Maret 2023 tapi selesai produksinya nanti pada tahun 2025-2026,” pungkas Anggota DPR RI dari Dapil NTB 2 (Pulau Lombok) itu.

Namun demikian, lanjut SJP, upaya KCI untuk melakukan penambahan dan peremajaan ini menemui kendala yaitu berupa dana, waktu dan masalah perizinan. Dari sisi pendanaan, pengadaan 16 KRL baru dari INKA mencapai Rp 4 triliun, sementara untuk impor 10 KRL eks Jepang hanya membutuhkan biaya Rp 150 miliar.

“Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan KRL baru dari INKA mencapai 34 bulan, sementara untuk impor dari Jepang hanya membutuhkan waktu 12 bulan. Tambahan lagi, KRL baru buatan INKA harganya 20 kali lebih mahal dari KRL eks Jepang, meskipun nantinya dapat digunakan 3 atau 4 kali lebih lama daripada KRL eks Jepang yang hanya dapat digunakan selama 10 hingga 15 tahun saja,” paparnya.

Akan tetapi, lanjut SJP, keinginan KCI untuk mengimpor KRL eks Jepang ini juga menemui kendala perizinan, di mana surat permohonan dispensasi yang baru dilayangkan pada September 2022 dalam rangka permohonan persetujuan impor barang modal dalam keadaan tidak baru (BMTB) ini pada bulan Januari 2023 ditolak oleh Kemenperin karena tidak memenuhi syarat minimal tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

“KCI sendiri mengklaim TKDN pada total 106 rangkaian KRL Jabodetabek saat ini, baik 96 rangkaian aktif maupun cadangannya, sudah menembus 40 persen. Saat tiba di Indonesia, komponen kereta eks Jepang dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan penumpang Indonesia,” pungkasnya.

Selain itu, Suryadi menambahkan, untuk meningkatkan kapasitasnya, kereta tersebut di-upgrade dari kereta SF 8 (Stamformasi 8 atau jumlah kereta dalam satu rangkaian hanya 8 unit) menjadi SF 10 & 12.

“Akibat dari penolakan Kemenperin ini, pengadaan rangkaian KRL menjadi terkendala dan diperkirakan sejumlah stasiun KRL Jabodetabek, seperti Stasiun Manggarai, makin terbebani bila rangkaian kereta berkurang. Hal ini disebabkan masa tunggu antar kereta yang berpotensi menjadi semakin lama, sehingga efeknya stasiun dan kereta akan menjadi semakin padat dan semrawut yang dampaknya dapat mengakibatkan penumpukan lebih dari 200 ribu penumpang per hari.

Ujung-ujungnya, masyarakat yang mengalami kerugian dari kurang sigapnya Pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini,” tegas Suryadi.

Bahkan, ungkapnya, Pemerintah sendiri juga yang akan mengalami kerugian karena KRL berperan penting bagi pertumbuhan ekonomi untuk mobilisasi aglomerasi.

Riset Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) tahun 2011 menyebutkan bahwa penambahan rute pelayanan KRL akan menaikkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah sebesar 0,069 persen, sedangkan penambahan frekuensi lintas menaikkan pertumbuhan ekonomi 0,005 persen.

Menanggapi hal tersebut, Fraksi PKS menyesalkan permasalahan ini, dan meminta kepada Pemerintah agar antara KCI dan Kemenperin tidak saling  lempar tanggung jawab.

“Seharusnya, tidak ada ego sektoral, bahkan semua sektor dalam Pemerintah bergerak secara sinergis sebab KRL merupakan moda transportasi terbaik untuk menampung jumlah penumpang yang besar. KRL seharusnya menjadi prioritas untuk terus dikembangkan dengan strategi peningkatan produksi dalam negeri dan substitusi impor di bidang perkeretaapian,” ungkapnya.

Hal ini, imbuhnya, sangat diperlukan sebab pada kenyataannya harga KRL INKA saat ini justru sangat mahal, sehingga  berpotensi memicu peningkatan tarif KRL karena nilai investasinya tinggi.

“FPKS juga berpendapat seharusnya KCI jauh-jauh hari bergerak melengkapi kebutuhan armada ini, sehingga apabila pemesanan dilakukan secara massif dan terjadwal kemungkinan dapat menurunkan ongkos produksi dan dapat digunakan tepat waktu,” ujar SJP.

Yang saat ini terjadi, kata SJP, permohonan dispensasi baru dilakukan pada bulan September 2022 untuk menggantikan unit KRL yang dipensiunkan pada tahun 2023, sedangkan kontrak dengan INKA juga baru akan diteken pada bulan Maret 2023.

“Sedangkan jika pemesanan dilakukan secara dadakan dan parsial atau sedikit-sedikit, tentunya berpotensi meningkatkan biaya produksi dan tidak dapat tepat waktu digunakan pada saat dibutuhkan. Akibatnya terjadilah  hal seperti sekarang ini, di mana KRL impor dilarang sedangkan KRL buatan dalam negeri mahal dan lama,” urainya.

Sebagai solusinya, kata SJP, FPKS berpendapat perlu adanya jalan tengah, misalnya KRL bekas dapat diimpor sementara tetapi dengan harus diiringi dengan peningkatan TKDN melalui proses rekondisi secara lokal agar dapat memenuhi persyaratan BMTB di atas.

“Pemerintah juga dapat menetapkan sistem kuota KRL bekas, misalnya hanya 25 persen dari kebutuhan dan hanya untuk jangka pendek. Kuota tersebut dapat secara bertahap semakin diturunkan dari tahun ke tahun, sementara kapasitas produksi INKA semakin ditingkatkan. FPKS berpandangan agar Pemerintah jangan membuat kebijakan ‘hantam kromo’ yang berdampak membuat penumpang KRL menjadi telantar. Apalagi jika penumpang kemudian terpaksa berganti-ganti moda transportasi sehingga akan semakin menambah beban pengeluaran masyarakat,” tutupnya. (red)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 477

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *