ilustrasi

MATARAM – Temuan adanya selisih sekitar Rp 7 miliar anggaran sumber APBD oleh Komisi I DPRD NTB untuk honor para honorer daerah (Honda) di NTB kini jadi pertanyaan public.

“Potensi besar terjadinya korupsi, maka sebaiknya dewan juga melibatkan pihak terkait untuk terus menelusuri,” desak Devisi Riset Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (SOMASI), Jumi Jumaidi, kemarin.

Menurut Jumi, adanya dugaan selisih 7 miliar disebutnya sebagai dampak tata kelola pemerintahan yang buruk. Longgarnya regulasi soal honor daerah membuat para pejabat dengan seenaknya memasukkan tenaga honorer di instansi masing – masing.

“Ini kemudian menjadi rawan dan dimanfaatkan oleh oknum tertentu dengan membuat “data siluman” yang berdampak pada keuangan daerah,” tegas Jumaidi.

Temuan Komisi I itu diapresiasi Somasi, sebab mereka telah melakukan fungsi pengawasan sesuai yang diharapkan rakyat, namun demikian dewan diharapkan terus melakukan tugas kontrolnya atas anggaran tersebut.

“Jika ada dugaan tindakan hukum maka harus ditindak lanjuti ke APH,” doronya.

Dalam melakukan pengawasan terus menerus di dewan diharapkan bisa melibatkan lembaga audit yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jika kemudian BPK diragukannya maka dewan harus memperkuat dugaan temuan selisih tersebut dimana dan menelusuri pangkal masalahnya.

Jumi mengatakan, bisa saja peristiwa ini sudah lama terjadi tapi baru terendus setelah ada regulasi untuk penghapusan honda ini sendiri. Menurutnya, peristiwa-peristiwa semacam ini juga mestinya jadi pelajaran untuk perbaikan tata kelola pemerintahan kedepan. Kelemahan para elit ini kan menemukan masalah tapi tidak memperbaiki akar persoalannya.

“Prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabel itu hampir tidak dilaksanakan,” kritiknya.

Somasi juga mendukung langkah interplasi yang akan dilakukan dewan. Terutama yang berkaitan dengan tata kelola anggaran Zul-Rohmi selama ini. “Asalkan jangan hanya gertak saja.

(Interplasi) itu bagus dan sangat kami dukung,” katanya.

Diakuinya selama ini dewan tidak pernah serius dalam melakukan apa-apa. Semuanya hanya dilakoni setengah-setengah. Interpelasi ini kadang juga ajang politis, hanya gertak dan selesai dengan lobi.

“Itu kecenderungan terjadi di lingkaran elit dewan dengan eksekutif,” sebutnya.

Sesuai temuan Komisi I, data Honda antara BKD dan BPKAD berbeda. Menurut BKD saat itu data honorer berdasarkan data BPKAD adalah sebesar 11 ribu lebih. Namun, data yang dimiliki oleh BKD tidak mencapai angka 11 ribu, tetapi hanya berjumlah 6.618 orang. Selama satu tahun anggaran yang dikucurkan untuk honor honorer mencapai Rp 17 miliar.

Sekretaris BPKAD NTB, Bowo Soesatyo yang dikonfirmasi menyarankan langsung bertanya kepada Kabid anggaran pada BPKAD NTB.

“Sebaiknya langsung. Apalagi masalah angka dia yang tahu persis,” jawab singkat.

Kabid Anggaran yang dikonfirmasi Radar Mandalika ini belum memberikan tanggapan sampai berita ini diturunkan. (jho)

 

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 476

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *