DAYAT FOR RADAR MANDALIKA MENU ANDALAN: Seorang pelayan di Pasar Bambu Bonjeruk saat hendak mengantarkan makanan pesanan untuk pengunjung, belum lama ini.

Mulai Berkontribusi ke Desa, Pernah Dikunjungi 1.200 Bule

Banyak masyarakat luar Desa Bonjeruk, Kecamatan Jonggat belum tahu proses awal berdirinya Pasar Bambu Bonjeruk. Apalagi sampai bisa mengangkat nama baik desa ke kancah nasional. Seperti apa? Berikut catatannya.

DIKI WAHYUDI-LOMBOK TENGAH
AWALNYA, keberadaan Desa Bonjeruk, Kecamatan Jonggat Lombok Tengah banyak yang tidak tahu. Namun dengan adanya Pasar Bambu Bonjeruk, berhasil membuat banyak orang mengetahui posisi desa satu ini. Lebih khusus bagi warga dari luar Kabupaten Lombok Tengah.
Diketahui memang tidak banyak ada tempat menarik yang bisa dikunjung warga luar di desa yang berada di perbatasan kecamatan antara Kecamatan Jonggat dan Pringgarata ini. Yang berhasil memikat warga luar sebagian besar adanya Pasar Bambu Bonjeruk. Seperti apa awal adanya tempat ini?
Dimana, semua ini berangkat dari munculnya ide dari pemuda di Desa Bonjeruk. Sebut saja, Usman dan Dayat. Sekitar awal tahun 2017 silam, kedunya mulai berpikir untuk menampilkan sport baru yang tampil beda dengan tempat lainnya.
Dengan bermodal keliling di sekitar wilayah desa, merekapun melihat ada kebun bambu berada di Dusun Peken Bat. Kebun bambu ini milik warga sekitar. Keduanya pun mulai menerawang potensi. Tidak lama, keduanya pun nekat menemui pemilik lahan atau lokasi kebun bambu. Beruntungnya, pemilik lahan dan warga di dusun ini mendukung penuh rencanannya.
“Alhamdulillah kami didukung dan diberikan mengelola,” ucap Syarif Hidayatulah saat menceritakan kepada Radar Mandalika, Minggu kemarin.
Sejak mendapatkan restu dari pemilik lahan, keduanya pun mulai melakukan gotongroyong bersama pemilik lahan dan warga setempat. Setelah kondisi kebun bambu mulai tertata, kedaunya pun mulai memikirkan dimana mendapatkan alang-alang kering untuk dijadikan atap lapak yang akan didirikan di tempat itu.
“Akhirnya kami temukan di sekitar kuburan, kami bersamaan untuk mengambil menggunakan sepeda motor. Ini pun proses beberapa hari,” tuturnya.
Setelah lapak berhasil didirikan sekitar tiga lapak dengan atap alang-alang. Tiang dengan menggunakan bambu yang ada di sekitar, lokasi ini kemudian mulai dipromosikan. Baik ke warga bahkan media social.
“Pertama yang datang ke tempat ini, dari para guide atau pemandu wisata dan secara kebetulan Ketua Pokdarwis kami menjadi Ketua Pokdarwis Lombok Tengah jadi banyak yang datang untuk ngopi-ngopi. Di sana mereka banyak memberikan masukan dan dukungan kepada kami atas berdirinya Pasar Bambu Bonjeruk itu,” ceritanya.
Di tengah perjalanan, sejumlah anggota Pokdarwis Permay yang mengelola Pasar Bambu ini malah satu persatu mengundurkan diri. Dirinya pun mulai ragu untuk melanjutkan, belum lagi ditambah posisi berada di jalur yang sepi.
“Tapi kami berdua tetap bertahan,” tegasnya.
Waktu terus berjalan, tamu mulai berdatangan. Tamu travel atau tamu group berdatangan ke Pasar Bonjeruk. Ada juga bule yang dibawa, mereka mengakui nyaman di tempat ini,”bebernya.
Berangkat dari kunjungan itu, merekanpun memberikan masukan untuk mejual paket Sehari di Bonjeruk. Nantinya wisatawan akan diajak keliling Desa Bonjeruk, melihat aktivitas warga yang masih menggunakan cara zaman dulu. Karena di desa ini masih ada warga melakukan itu.
“Kami konsep seadanya, contoh menggunakan lampu orangtua zaman dulu,” katanya.
Setelah konsep matang kata Dayat, pihaknya pun mulai menjual paket tour tersebut. Semua kegiatan tour ini terpusar di Pasar Bambu. Paket yang dijual ini pun laku dengan sasaran para wisatawan asing. Awal tahun 2018, Pasar Bonjeruk dikunjungi sekitar 1.200 orang tamu wisatawan asing.
“Kalau paket eksklusif itu kami jual Rp 250 ribu per orang. Tapi tidak banyak yang pilih. Ini ada lebihnya bisa melihat aksi pertunjukan wayang, peresean dan lainnya. Mulai sejak itu kami memiliki hasil,” tuturnya lagi.
Baru saja melejit nama Desa Bonjeruk atau Pasar Bambu ini di luar, musibah alam pun datang. Yakni, gempa bumi menimpa NTB. Sejumlah wisatawan asing khususnya kembali ke asal mereka. “Jadi semua panic saat itu. Kami pun tutup pasar ini,” ceritanya.
Saat itu juga, para pengurus pokdarwis mulai bingung. Dengan musibah alam yang tidak menentu ini, mereka pun mulai tak memikirkan keberlangsungan pasar bambu yang susah payah didirikan sampai nama diketahui banyak wisatawan asing.
Di tengah kondisi yang sulit bangkit, sekitar tahun 2019 pada zaman Bupati Lombok Tengah H Moh. Suhaili FT memberikan suntikan pengembangan desa wisata salah satunya ke Desa Bonjeruk sebesar Rp 85 juta. Atas modal ini, perlahan mereka kembali bangkit. Dengan dana yang ada, mereka kembali mendirikan lapak dengan desain yang sama menggunakan alang-alang. Selain itu, anggaran juga diarahkan ke penyediaan sanggar seni dan lainnya.
“Tidak lama berjalan, pandemic covid-19 melanda. Termasuk kita juga kenak dampak. Kami terpaksa tutup lagi. Dan baru H-7 Lebaran puasa kemarin kami buka sampai sekarang. Alhamdulillah mulai ramai,” kata Dayat.
Diceritakannya, awal bangkit dari pandemic memang berat juga. Tidak semudah dibayangkan, namun beruntung ada seorang warga desa setempat bersedia membantu mensuport dana untuk melanjutkan pasar bambu.
“Pola pembagian hasil. Missal dari 100 persen keuntungan, 10 persen ke pokdarwis, 40 persen ke pekerja dan 50 persenke pengelola. Ya untuk desa, kami pokdarwis stork e desa jadi PADes,” bebernya.
Adapun menu andalan di tempat pasar bambu, ayam merangkat. Ada juga jajanan basah tradisional disiapkan. Pola penyajian makanan kepada pengunjung juga kental menggunakan ciri khas warga sasak. Tutup menggunakan tembolak, tempat air menggunakan ceret dan konstum digunakan pelayan juga menggunakan pakaian khas wanita sasak zaman dulu.
“Paket andalan ini dihargakan Rp 100 ribu. Kami buka dari pukul 11 siang sampai pukul 20.00 wita,” ujarnya.
Sementara itu, untuk pendapatan saat ini terus mengalami peningkatan. Awal-awal omzet bersih sebelum pandemic Rp 4 sampai 5 juta, dan sekarang terus meningkat setiap bulan. Awal buka bulan pertama puasa sekitar Rp 17 juta, 25 juta dan sekarang Rp 30 juta per bulan omzet kotor.
“Dari keberadaan ini, kami berharap warga setempat bisa ambil peran. Kami mengajak warga di sana untuk mari bergabung berjualan atau berusaha. Kami juga ucapkan terimakasih kepada Pak Kades yang terus mendukung juga,” katanya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *