MATARAM – Ternyata sisa 1,8 hektare (ha) lahan warga di tengah Sirkuit Mandalika atau pertamina mandalika international street circuit belum bisa diselesaikan pembebasannya oleh pemerintah dan PT. ITDC. Dari luas lahan itu, ditaksir membutuhkan Rp 20 miliar untuk bisa pembebasan lahan warga secara menyeluruh.
Dalam persoalan ini, sementara perhelatan World Superbike Mandalika akan berlangsung tanggal 19 -21 November 2021. Belum lagi lebih awal event Idemitsu Asia Talent Cup (IATC) akan digelar 13-14 November 2021. Namun anehnya, penyelesaian lahan warga tak kunjung juga tuntas.
“Tetap kami desak supaya semuanya diselesaikan. Saya tetap berkoordinasi dengan pak gubernur,” ungkap Ketua LSM, Solidaritas Warga Inter Mandalika (SWIM), Lalu Alamin yang dikonfirmasi Radar Mandalika, kemarin.
Alamin memaklumi, saat ini pemerintah masih menunggu payung hukum untuk pembarayan seluruhnya oleh ITDC, dimana akan ditalangi oleh pemprov NTB melalui Bank NTB Syariah dan itu bukanlah proses mudah. Namun penyelesaian yang diharapkan itu bukan berati semua pembayaran harus tuntas. Melainkan penyelesaian awal. Paling tidak sudah ada komitment hitam di atas putih dari pemprov lalu diberikan semacam uang tali asih biaya pindah dan sebagainya, khususunya bagi mereka yang masih tinggal sampai saat ini di lokasi.
“Jika itu dilakukan maka kami bisa pastikan yang masih tinggal di sana bisa keluar,” yakinnya.
“Jadi kami berharap segera diselesaikan dalam bentuk penyelesaian awal. Sehingga rakyat tidak merasa di-PHP,” sambungnya.
Alamin menegaskan, penyelesain lahan warga itu jauh-jauh hari sudah dikoordinasikan dengan gubernur. Sebagai perpanjangan tangan rakyat, LSM SWIM selalu berkoordinasi dengan gubernur. Akhirnya gubernur membentuk tim yang diketuai Kepala Bakesbangpoldagri NTB. Tim ini bekerja untuk penyelesaian kasus konter klaim (saling klaim, red) antara ITDC dengan warga atau warga dengan ITDC. Lalu diputuskan mekanisme penyelesaian humanis tanpa peradilan. Maka gubernur menyetujui penalangan pembayaran lahan baik di dalam sirkuit maupun di lahan yang menempel dengan sirkuit itu mengingat ITDC belum ada uang.
“Luas yang disetujui dibayar kurang dari 2 hektare di HPL 73 yang ditempati sekitar 70 kepala keluarga (KK),” jelasnya.
Sementara, BPN lalu mencarikan payung hukum pembayarannya dengan tujuan tidak melanggar. Pasalnya tanah itu berstatus HPL, sehingga tidak boleh hukumnya pemprov sebagai negara membayar tanah berstatus HPL.
“Maka Tim (Bakesbangpol, Kejaksaan, Polda, BPN) bersurat ke Menteri Agraria suapaya merubah tanah ini (dari HPL) menjadi SHM atau lainnya,” ceritanya.
“Polda sudah setuju atas ini, kejaksaan satu suara, BPN sudah ok,” sambungnya.
Dibeberkannya, tanah berstatus enclave seluas 42 are yang masuk dalam klaster hijau tinggal menunggu pembayaran dengan jumlah pembayaran Rp 4,9 M.
Selanjutnya, klaster kuning dengan luas 73 are yang dimiliki delapan orang saat ini sudah ada pelepasan hak. Dimana, kronologis pemilik awal melalukan transaksi dengan oknum lain. Pemilik awal melakukan transksai dua arah pertama ada SPH kepada ITDC yang saat itu disebut LTDC. Kedua juga terjual juga kepada satu orang.
“Sehingga itu yang diselesaikan dengan cara tali asih,” katanya.
BPN juga telah melakukan pengukuran diluas lahan 1,8 hektare untuk menentukan luas lahan masing-masing. Sebab di lahan tersebut terdiri dari delapan bidang dengan delapan pemilik.
Alamin menegaskan, pemerintah NTB perlu menyiapkan Rp 20 miliar untuk pembayaran seluruhnya. Dengan hitungan taksiran harga Rp 75 juta per are seperti harga apprasil pada Penlok I sebelumnya. Semua lahan itu berada di dua dusun, Ebunut dan Dusun Ujung Lauk.
Alamin menambahkan, pemprov sebetulanya sudah memulai proses pengurusan pembayaran itu tetapi pihaknya akan tetap menekan pemprov supaya ada penyelesain. Setidaknya penyelesaian awal yang dimaksudkannyan.
“Kami dari SWIM tetap menyampaikan informasi ke masyarakat supaya proses ini tetap berlangsung,”pungkasnya.(jho)