PRAYA – Aksi spontan dilakukan sejumlah warga sekitar Sirkuit Mandalika di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Jumat sore kemarin. Warga yang melakukan aksi dengan cara membentang spanduk bertuliskan, “WSBK Lancar, Tanah Kami Harus Dibayar…!!!. Ada apa soal lahan warga di sana?
Dari hasil penggalian informasi ini. Warga mengaku ada lahan mereka sekitar ara sirkuit seluas 11 hektare belum dibayar pihak PT. ITDC. Pengakuan warga, sudah sekitar 30 tahun warga menanti pembayaran namun tak kunjung dilakukan warga. Selama ini, oknum aparat dan oknum pihak ITDC melakukan upaya paksa melakukan penggusuran. Bahkan, penggusuran pun dilakukan tengah malam disaat warga tengah istirahat.
Dari pengakuan warga yang aksi ini, mengaku warga Dusun Ebunut Desa Kuta, Kecamatan Pujut. Mereka turun didampingi kuasa hukum.
Senan warga yang mengaku pemilik lahan mengatakan, dia sekarang menantikan keadilan dan akan terus bersuara.”Biar dianggap radio rusak oleh pihak ITDC maupun pemerintah, kami akan tetap turun menuntut hak,” tegasnya di hadapan media.
“Dulu tanah saya digusur, kami mau berontak namun kami berpikir untuk pembangunan pemerintah dan akan dibayar. Tapi sayang itu semua tidak seperti apa yang kami pikirkan,” sambung Dirate warga yang mengaku pemilik lahan.
“Kami hanya minta pembayaran, kami siap tempur, saya siap ditembak dan saya juga siap menembak,” sambung dia tegas.
Kalsum pemilik lahan lainnya, dimana pihaknya mengaku tidak pernah menerima kepastian waktu pembayaran. Warga beberapa kali mempertanyakan alasan mengapa pembayaran lahannya seluas 92 are tidak pernah dilaksanakan, namun alasan ITDC sedang proses.
Di tempat yang sama, kuasa hukum warga dari LBH Madani, Setia Darma menerangkan, bahwa langkah hukum yang dijalani warga saat ini merupakan langkah non litigasi (di luar pengadilan, red) dengan harapan supaya adanya etikat baik ITDC maupun pemerintah.
“Semoga Pemda Loteng, DPRD Loteng dan Pemprov NTB segera membantu menyelesaikan persoalan ini,” harapnya.
Dari warga yang turun aksi spontan ini, ada sekitar 12 bidang tanah di dalam areal sirkuit dengan luas keseluruhan sekitar 10 sampai dengan 11 hektare, dengan kepemilikan 25 orang yang belum dituntaskan pihak ITDC pembayaran.
“Dasar masyarakat jelas, yakni pipil garuda, surat segel tahun 80 an, dan penguasaan sporadik, AJB dan lainnya,” tegas advokat wanita ini.
Menurutnya, ada kekeliruan dalam proses Inclave yakni yang diterjemahan oleh pihak ITDC saat tidak masuk dalam HPL, kemudian HPL ini merupakan adanya dasar di masyarakat. Harusnya, HPL tidak lahir mengingat adanya masyarakat di areal tersebut yang mendiami atau menggarap areal tersebut, apalagi dengan melakukan penggusuran.”Itu harusnya, bukan klaim HPL,” katanya. (tim)