MATARAM – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai eksekutif saat ini telah terjebak. Dampaknya terlihat dengan jelas pengeloaan keuangan daerah di masa pandemi yang penuh keterbatasan saat yang amburadul.
Sekjen FITRA NTB, Ramli Ernanda menegaskan, manajemen cash flow APBD Pemprov kurang bagus. Meski menang sudah satu kelaziman terutama di BPKAD dan Bappenda. Jika uang masuk seret maka uang keluar juga seret. Menurut Fitra, agar tidak mereduksi menjadi penghalang tercapainya visi-misi kada sebaiknya pokir ini direvitalisasi.
Katanya, program pokir ini perlu penyesuaian di masa pandemi. Misalnya dari sisi kesepakatan nominal. Sebab, pihaknya melihat ada target mengatrol PAD yang terlalu optimis dalam dua tahun ini, terpenting menjamin Pokir bisa dibiayai.
Berikutnya dari sisi prioritas. Sebaiknya disesuaikan dengan prioritas pemulihan ekonomi daerah agar dana yang terbatas selama pandemi ini bisa efektif dan efisien.
“Konsolidasi politik di legislatif ini harus dibayar mahal dengan ketidakmampuan ekskutif mengatur antara kepentingan konstituensi DPRD dengan ketersediaan anggaran. Bagi eksekutif yang penting legislatif aman,” sindir Ramli.
Ramli menegaskan, untuk menyelesaikan masalah ini gubernur perlu turun tangan. Pemprov pun diminta terbuka. Apakah hutang ini hanya di Pokir saja, atau juga di program reguler. Jika ternyata masalah pembiyaan untuk keduanya berarti ada masalah diperencanaan dan penganggarannya yang buruk.
“Tahun lalu juga begini. Berarti ada masalah yang tidak diselesaikan. BPK saya pikir perlu audit hutang program ini,” pintanya.
Sementara itu, petinggi pejabat Pemprov NTB yang enggan disebutkan namanya mengaku lambannya pembayaran tersebut dikarenakan memang daerah tidak ada uang. Pendapatan yang masuk ke kas daerah dari PAD hanya sedikit saja.
“Masuknya netes,” katanya.
Namun demikian dirinya membantah adanya ketimpangan realisasi belanja dengan realisasi fisik yang ada.
“Selisihnya antara dua persen,” kata pejabat di BPKAD itu.
Saat ini realisasi pembayaran di Pemprov kepada rekanan atau kontraktor sudah memasuki 60 persen, sisanya akan dihabiskan sampai akhir Desember ini. Namun demikian menurutnya, tidak menuntup kemungkinan ada potensi hutang kepada rekanan alias akan bisa dibayar tahun 2022.
“Kalau pendapatan kita berkurang otomotatis potensi hutang pasti ada,” yakin dia.
Dalam kontrak dengan pihak ketiga sudah menjadi kewajiban harus dibayarkan pemerintah meski dibayar di tahun berikutnya. “BPK juga paham dengan kondisi yang ada,” katanya.
Dijelaskanya, salah satu yang menjadi sampel Dinas Perkim NTB. Program fisik pemerintah yang masih belum terbayarkan kepada rekanan sampai November ini diangka Rp 118,6 miliar. Terbesar program fisik yang merupakan aspirasi 65 anggota DPRD NTB alias Pokir.
Sementara, Senin kemarin Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) NTB dipanggil Komisi IV DPRD NTB untuk memperjas pembayaran tersebut.(jho)