*Oleh: Suaeb Qury*
_(Wakil Sekretaris Wilayah PW NU Provinsi NTB)_
Ketika Presiden Prabowo Subianto menunjuk Prof. Dr. H. Nazaruddin Umar, MA sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, publik tak hanya menyambutnya sebagai penunjukan figur akademik dan tokoh toleransi, tapi juga sebagai harapan akan arah baru Kementerian Agama. Dalam waktu singkat, salah satu inisiatif visioner beliau yang mulai mengemuka adalah apa yang disebut sebagai Kurikulum Cinta.
Meskipun istilah ini terdengar sederhana, bahkan mungkin terlalu puitis bagi sebagian kalangan birokrasi, Kurikulum Cinta justru memuat gagasan mendalam tentang bagaimana agama semestinya diajarkan dan dihayati: sebagai jalan cinta kasih terhadap Tuhan, sesama, dan semesta. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh identitas agama dan budaya, gagasan ini relevan, bahkan urgen.
Apa itu Kurikulum Cinta? Dalam pemahaman paling mendasar, Kurikulum Cinta menempatkan setiap manusia tanpa membedakan asal-usul, agama, ras, atau keyakinannya sebagai titipan suci dari Tuhan. Ia harus dihargai, dirawat, dididik, dan dicintai. Maka, proses pendidikan keagamaan tidak boleh berujung pada eksklusivisme, intoleransi, atau diskriminasi tetapi justru menjadi ladang subur bagi tumbuhnya welas asih, kebijaksanaan, dan kepedulian lintas batas.
Inilah yang menjadi orientasi dasar dari pembaruan pendidikan agama. Sebuah kurikulum yang tak sekadar menekankan hafalan teks suci atau penguasaan hukum-hukum ritual, tetapi lebih jauh lagi membentuk watak manusia yang berani mencintai, bahkan ketika berbeda.
Selama ini, sekolah-sekolah agama sering dilihat sebagai tempat pembelajaran akidah dan ibadah. Namun di era Kurikulum Cinta, sekolah agama perlu tampil sebagai taman cinta tempat anak-anak belajar membangun hubungan yang harmonis, baik dengan Tuhan, sesama, maupun lingkungan hidup.
Gagasan ini tak lepas dari pendekatan ekoteologi yang juga diangkat oleh Menteri Agama. Ekoteologi memandang bahwa spiritualitas sejati bukan hanya terletak pada relasi vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada relasi horizontal dengan sesama manusia dan relasi ekologis dengan alam semesta. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.
Dengan demikian, Kurikulum Cinta sesungguhnya adalah jawaban atas krisis multidimensi yang dihadapi masyarakat global hari ini krisis empati, krisis lingkungan, dan krisis moralitas. Ketika agama hanya diajarkan sebagai doktrin, ia mudah terjebak dalam politisasi dan simbolisme. Tapi ketika agama dihidupkan sebagai cinta, ia menjadi kekuatan penyembuh dan pemersatu.
*Dari Visi ke Implementasi*
Tentu saja, sebuah gagasan tidak cukup hanya berhenti di atas kertas. Kurikulum Cinta harus diimplementasikan secara konkret dalam sistem pendidikan, pelatihan penyuluh agama, pembinaan keluarga, hingga dalam pelayanan-pelayanan keagamaan seperti di kantor KUA, pesantren, dan madrasah.
Guru agama, penyuluh, dan penghulu menjadi aktor kunci dalam keberhasilan kurikulum ini. Mereka harus dibekali pemahaman dan kemampuan praktis untuk membumikan nilai cinta dalam materi dan metode pembelajaran. Pendidikan agama yang keras, eksklusif, dan berjarak dari realitas sosial harus digantikan oleh pendidikan yang ramah, dialogis, dan kontekstual.
Kementerian Agama juga perlu merumuskan indikator keberhasilan yang tidak hanya bersifat kognitif atau administratif, tetapi afektif dan transformatif. Apakah anak-anak mampu bersikap toleran? Apakah mereka mencintai lingkungan? Apakah mereka memiliki empati terhadap yang lemah? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu masuk ke dalam evaluasi pendidikan agama kita.
*Tugas Kita Bersama*
Perjalanan menuju Indonesia yang damai dan beradab melalui Kurikulum Cinta tentu bukan tugas Kementerian Agama semata. Ini adalah proyek moral dan spiritual seluruh bangsa. Kurikulum Cinta perlu didukung oleh keluarga, masyarakat, media, dan tentu saja para pemuka agama dari berbagai latar belakang.
Kita memerlukan gerakan bersama untuk membangun budaya cinta dalam kehidupan sosial, politik, dan pendidikan kita. Cinta, dalam hal ini, bukan sekadar emosi personal, tetapi prinsip etik tertinggi dalam hubungan antarmanusia.
*Kembali ke Fitrah Agama*
Agama, sejatinya, hadir untuk memanusiakan manusia. Maka, ketika agama justru digunakan untuk merendahkan, menyingkirkan, atau bahkan memusuhi sesama manusia, di situlah agama telah kehilangan rohnya. Kurikulum Cinta adalah ajakan untuk kembali ke fitrah agama: membimbing, bukan menghakimi; menyembuhkan, bukan melukai; dan mencintai, bukan membenci.
Jika ini bisa kita tanamkan dalam sistem pendidikan agama kita, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah: bukan hanya dari segi ilmu pengetahuan, tetapi juga dari sisi kemanusiaan.