Hj Dewi Mardiana Ariany

MATARAM – Peningkatan kasus pernikahan dini di Kota Mataram cukup drastis. Ini menandakan bahwa Pemkot Mataram melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram belum berhasil menekan dan mencegah terjadinya kasus pernikahan dini.

Peningkatan kasus pernikahan dini di ibu kota Provinsi terlihat dari data Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Mataram. Yang diperoleh Radar Mandalika dari DP3A Kota Mataram, belum lama ini. Bahwa, data dari tahun 2017-2018 terjadi peningkatan kasus pernikahan usia anak.

Berdasarkan data perkawinan anak usia 19 tahun untuk laki – laki dan 17 tahun untuk perempuan di seluruh kecamatan se Kota Mataram. Tahun 2017, jumlah kasus pernikahan usia anak mencapai 219 kasus. Jumlah ini meningkat drastis di tahun 2018 hingga mencapai 283 kasus.

Adapun perincian angka kasus pernikahan usia anak di masing-masing kecamatan pada tahun 2017. Di Kecamatan Mataram mencapai 22 kasus. Di Kecamatan Selaparang mencapai 13 kasus. Di Kecamatan Ampenan ada 32 kasus. Di Kecamatan Sekarbela mencapai 80 kasus. Di Kecamatan Cakranegara mencapai 38 kasus. Dan, Kecamatan Sandubaya mencapai 34 kasus.

Sedangkan rincian jumlah kasus di masing-masing kecamatan pada tahun 2020. Di Kecamatan Mataram mencapai 12 kasus. Di Kecamatan Selaparang mencapai 2 kasus. Di Kecamatan Ampenan ada 15 kasus. Di Kecamatan Sekarbela mencapai 68 kasus. Di Kecamatan Cakranegara mencapai 143 kasus. Dan, Kecamatan Sandubaya mencapai 33 kasus.

Sementara, Kepala DP3A Kota Mataram, Hj Dewi Mardiana Ariany, tidak membeberkan jumlah kasus pernikahan dini pada tahun 2019 dan 2020. Namun, dia tidak menyangkal adanya kasus pernikahan dini yang terjadi di tengah masa pandemi Covid-19, belum lama ini. Yaitu pernikahan dini terjadi di Kelurahan Selagalas.

Yang jelas, Dewi menyayangkan masih adanya kasus pernikahan dini yang selama ini terjadi di Mataram. Dimana, dalam kurun waktu 2017-2018 saja terjadi peningkatan yang cukup drastis. Menurut dia, ada beberapa faktor pemicu terjadinya kasus pernikahan dini. Salah satunya karena faktor ekonomi.

“Tentu kita sangat miris. Kita juga tidak mengiginkan anak-anak kita untuk melakukan pernikahan anak,” ungkap dia.

Menurut Dewi, pernikahan dini cukup berisiko terhadap ibu dan janin. Karena alat reproduksi belum matang. Dalam proses kehamilan, kata dia, bisa jadi anak yang dikandung mengalami kekurangan gizi. Kemudian, dikhawatirkan bisa mengakibatkan kematian baik terhadap ibu maupun anak.

“Dalam proses persalinan kita tidak ingin ada kematian. Tiba-tiba nanti pendaharan dan kejang. Karena memang alat reproduksinya belum siap untuk melahirkan,” ungkap dia.

Upaya pencegahan yang diambil DP3A Kota Mataram terkendala pandemi Covid-19. Misalnya, melakukan sosialisasi langsung kepada masyarakat dengan jumlah banyak. Seperti yang biasa dilakukan sebelum terjadinya pandemi virus corona. Namun nantinya, kata Dewi, pihaknya akan membagikan bantuan spesifik dengan terjun dari rumah ke rumah atau door to door.

“Kalau sosialisai tidak memungkinkan di masa ini (pandemi Covid-19) untuk berkumpul banyak-banyak ,” kata perempuan berjilbab itu.

Pencegahan kasus pernikahan dini tidak hanya tugas pemerintah saja. Di satu sisi, orang tua juga sangat berperang penting. Diharapkan bisa memberikan pemahaman kepada anak. Jangan sampai terjadi pernikahan dini karena sangat berisiko terhadap kesehatan ibu dan janin. (zak)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *