KLU—Lombok Utara tak kekurangan orang cerdas dan kreatif. Baru-baru ini kabar hangat yang membuat bangga datang dari kalangan pemuda-pemudi Lombok Utara yang bergelut di dunia kepenulisan fiksi.
Empat penulis muda dari Lombok Utara terpilih untuk mempublikasikan karya mereka dalam Sayembara Penulisan Cerita Anak Dwibahasa (Sasak, Samawa, dan Mbojo – Indonesia) tahun 2025 yang digelar oleh Balai Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Mereka adalah Arianto Adi Purwanto, De Galih Mulyadi, Nuril Bintang Elyusra, dan Deta Novian Ariesandy. Adalah pemuda-pemudi yang mengharumkan Gumi Tioq Tata Tunaq melalui dunia seni tulis.
Arianto sendiri merupakan seorang penulis muda yang cukup terkenal. Ia telah mempublikasikan banyak karya cerita pendek di media nasional maupun yang telah dibukukan. Terbaru karyanya yang cukup menggelitik adalah Iblis Tanah Suci.
Pada sayembara penulisan cerita anak Dwibahasa di NTB sendiri, Arianto telah berulang kali lolos untuk publikasi. Namun, kali ini, ia datang dengan misi baru: membangun literasi kebencanaan dengan selipan dialek Keto-Kete, khas Lombok Utara.
Melalui cerita yang berjudul Bale Balaq Baloq Dulinep, Ari menulis literasi kebencanaan untuk anak-anak sekolah yang dikemas dengan cerita dan gaya tulisan yang menarik dengan penggunaan bahasa Sasak khas Lombok Utara.
“Sejak lama saya ingin menulis tentang kebencanaan dengan setting lokasi spesifik di Lombok Utara. Keinginan saya ini semakin kuat waktu saya sering ikut kegiatan kebencanaan dan trutama tentang literasi kebencanaan,” kata Ari, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, dalam sayembara kepenulisan cerita anak kali ini, ia sengaja mengangkat tema kebencanaan yang menggunakan dialek Lombok Utara. Selain karena minimnya buku literasi kebencanaan terutama yang dikemas dalam cerita anak, ia juga ingin Bahasa Sasak khas Lombok Utara eksis dalam bentuk bahan bacaan.
“Karya ini juga sekaligus mendukung kecintaan saya pada bahasa Lombok Utara, yang bagi saya harus mendapatkan ruang eksisnya dalam bentuk bahan bacaan,” sebutnya.
Penulis kedua yang terpilih adalah De Galih Mulyadi. Penulis muda Lombok Utara yang satu ini juga tak kalah terkenal. Ia kerap muncul di rubrik sastra media-media besar.
Pria yang juga menjadi founder Sanggar Anak Gunung di Lombok Utara ini, menulis cerita anak dengan judul Tune Putek Kokoq Daye. Dalam cerita ini, ia menyelipkan nilai dan pesan yang mendalam mengenai kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak baik.
“Ini sebenarnya terinspirasi dari kegiatan anak saya yang sering pergi mencari tuna, yang saya gabungkan dengan cerita lokal di tempat saya. Konon ada tune puteq yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu, atau mereka ‘kesindungan’,” cerita pria yang juga aktif membantu mengembangkan minat menulis anak-anak sekolah itu.
Sementara, dua penulis lainnya yang lolos seleksi adalah Nuril Bintang Elysura dengan karya yang berjudul Reja dan Gasing Ajaib, dan Deta Novian Ariesandy dengan karya yang berjudul Kumbeq Tan Nyalayang Api?
Keempat penulis ini tidak hanya menulis untuk diterbitkan. Mereka menulis dengan tujuan yang lebih besar—untuk anak-anak Lombok, untuk bahasa daerah yang nyaris tersisih, dan untuk menjadikan buku sebagai jendela pertama anak-anak mengenali dunia dan budayanya sendiri.(dhe)