Oleh: Abdus Syukur

Sapta Nirwandar datang ke NTB. Lagi. Dan seperti biasa, bukan datang kosong. Ada ide. Ada kegelisahan. Dan—tentu saja—ada harapan besar.

Dia bertemu dengan Dewantoro Umbu Joka. Tokoh pariwisata NTB yang juga Ketua DPD Asita NTB. Pertemuan mereka bukan basa-basi. Bukan sekadar saling tukar kartu nama dan berfoto lalu bubar. Tapi berisi.

Intinya: NTB harus kembali menjadi mercusuar halal tourism di Indonesia. Bahkan dunia.

Sapta memang punya alasan kuat. Dia bukan orang baru di dunia pariwisata halal. Justru dia yang dulu ikut menancapkan tiang pancangnya. Saat jadi Wakil Menteri Pariwisata, dialah salah satu “arsitek” konsep Lombok Halal Tourism. Saat itu NTB jadi buah bibir dunia. Jadi referensi. Menang penghargaan pula: World’s Best Halal Tourism Destination.

Tapi, belakangan—sapta gelisah.

“Ada yang baru dengar istilah halal tourism, tiba-tiba ingin mengubah konsep yang sudah dibangun bertahun-tahun,” kata Sapta. Mimiknya serius. Nada bicaranya seperti menyimpan kecewa yang lama dipendam.

Maka dia bilang: jangan ganggu fondasi yang sudah kuat itu. Jangan otak-atik nilai yang sudah tertanam. “Ini bukan sekadar tren. Ini gaya hidup. Ini nilai,” katanya. Halal lifestyle, sebutnya—bukan cuma soal wisata, tapi soal cara pandang hidup yang utuh.

Dewantoro tak membantah. Bahkan justru menyambut.

Ia juga punya data: permintaan wisata halal terus meningkat. Bukan cuma dari Timur Tengah. Tapi juga dari Malaysia, Jepang, hingga Eropa. “Kita punya peluang memimpin pasar ini,” ujarnya.

Dewantoro juga tidak ingin NTB cuma jadi penonton dari geliat halal tourism global. Maka ia setuju: NTB harus naik kelas. Bukan sekadar destinasi. Tapi pusat halal lifestyle di Indonesia.

 

Lalu apa yang akan dilakukan? Banyak. Dari urusan akomodasi ramah muslim, sertifikasi kuliner halal, hingga transportasi dan atraksi wisata yang nyaman buat keluarga muslim. Termasuk ekonomi kreatif halal. UMKM juga akan dibimbing agar paham standar halal internasional.

Bukan proyek instan. Tapi gerakan yang disiapkan jangka panjang. Sapta menyebutnya: konsistensi. Dewantoro menambahkan: kolaborasi.

Saya menyebutnya: momentum.

Jika pertemuan Sapta dan Dewantoro ini benar-benar jadi titik mula kebangkitan kembali, maka NTB punya alasan untuk berharap. Setidaknya, arah kita kembali lurus ke jalan awal: jalan halal.

Dan semoga tidak ada lagi yang merasa sok tahu, lalu main revisi seenaknya. Karena, seperti yang dikatakan Sapta: “Kalau tak paham sejarahnya, jangan sok ingin mengubah isinya.”

Toh, NTB sudah punya modal: reputasi, pengalaman, dan jejaring. Tinggal satu yang belum—jangan cepat lupa diri. (red)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *