Oleh: Abdus Syukur
Kenapa orang ingin jadi ketua PWI? Organisasi ini bukan tambang uang. Bukan pula jalan pintas menuju kekuasaan. Bahkan tidak menjanjikan popularitas. Tapi tetap saja, kursi ketua itu diperebutkan.
Diintai. Diincar. Seakan ada sesuatu yang begitu berharga tersembunyi di baliknya.
Padahal, kalau jujur ditanya, tak ada gaji, tak ada tunjangan, tak ada fasilitas. Yang ada justru pengorbanan: waktu, tenaga, pikiran, bahkan uang pribadi.
Lalu, kenapa? Mungkin karena di sanalah letak idealisme itu diuji. Dan di sanalah rasa tanggung jawab itu dipanggil kembali.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), rumah tua yang usianya hampir seabad, sedang mencari penjaga baru. Seorang pemimpin. “Tapi bukan sembarang pemimpin. Melainkan pemimpin yang bukan sekadar mau—tapi juga mampu. Bukan hanya mampu, tapi juga rela,” kata Sekretaris PWI Sumbawa, Abu Sofyan yang kami panggil Paman Ancus.
Rela bersabar ketika teman sendiri mencibir. Rela berdiri di tengah saat kepentingan mulai saling sikut. Rela menyatukan yang berbeda tanpa memaksakan sama.
Karena itu, menjadi ketua PWI bukan tentang duduk di singgasana. Tapi soal berdiri paling depan ketika semua tiarap. Soal menyeka peluh rekan yang kelelahan, sembari tetap tersenyum menenangkan.
Seorang teman pernah bilang: “Ngapain jadi ketua organisasi non-profit, capek sendiri, dimaki pun sendiri?”
Saya hanya menjawab pelan: “Karena ini bukan soal capek atau pujian. Ini soal panggilan. Soal pengabdian.”
Dunia wartawan sedang berubah. Bukan hanya karena disrupsi teknologi, tapi juga karena krisis kepercayaan.
PWI tak boleh ikut tenggelam. Ia harus kembali menjadi rumah. Tempat para jurnalis pulang dengan tenang, bukan sekadar mampir lalu pergi lagi. Tempat kita semua menyusun ulang nilai-nilai: integritas, kompetensi, dan keberanian.
Tapi semua itu tak akan lahir dari menara gading. Ia harus dibangun dari bawah. Dari ruang-ruang sempit yang kita sebut sekretariat. Dari kopi malam yang diseruput di tengah diskusi tanpa anggaran. Dari pelatihan yang digelar bukan karena ada sponsor, tapi karena ada kebutuhan.
Saya ingin menjadi ketua PWI bukan karena saya merasa paling hebat. Tapi karena saya pernah mengalami—betapa susahnya mencari tempat bertanya ketika digugat. Betapa sunyinya ketika kita berjuang sendiri di lapangan. Dan betapa pentingnya ada yang menjaga marwah profesi ini.
Menjadi ketua PWI artinya siap tidak dianggap. Tapi juga siap untuk terus menganggap—semua anggota sebagai keluarga.
Ini bukan jabatan. Ini pengabdian. Dan saya tahu, pengabdian itu bukan untuk semua orang. Tapi saya ingin mencobanya—jika teman-teman wartawan NTB berkenan memberi kepercayaan.
“Bila calon ketua yang Anda cari, mereka yang sibuk menakar untung dan rugi, saya mohon tak perlu memilih saya. Namun jika yang Anda harapkan adalah pemimpin yang rela kehilangan demi menjaga kehormatan kita bersama, maka izinkan saya hadir dan berjuang bersama Anda.” (*)
Keterangan Foto:
Abdus Syukur (dokpribadi)