Oleh: Abdus Syukur*
Nusa Tenggara Barat (NTB) punya potensi luar biasa untuk menjadi destinasi wisata ramah Muslim yang tidak hanya bertaraf nasional, tapi juga diakui dunia. Seiring dengan pertumbuhan pariwisata halal global, NTB harus bergerak cerdas dan strategis agar nilai keislaman, keramahan, dan keberlanjutan bisa menjadi kekuatan utama yang membedakan destinasi ini dari yang lain.
Workshop Friendly Moslem Tourism yang digelar Dinas Pariwisata NTB, 13 November di Hotel Lombok Raya adalah tonggak awal yang sangat positif. Namun, kita harus menyadari bahwa membangun pariwisata ramah Muslim tidak cukup dikerjakan secara parsial. Bukan hanya soal menyediakan fasilitas ibadah dan sertifikasi halal pada kuliner, tapi bagaimana seluruh ekosistem pariwisata — mulai hotel, restoran, moda transportasi, hingga masyarakat lokal — mengadopsi nilai-nilai ramah Muslim secara menyeluruh dan autentik.
Kolaborasi lintas sektor menjadi fondasi utama. Sektor pariwisata tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan komunitas, pelaku usaha, pemerintah, dan akademisi. Kita butuh jaringan kerja yang solid agar setiap elemen dapat saling mendukung dan memperkuat standar pelayanan ramah Muslim. Melalui sinergi ini, pariwisata NTB tidak hanya sekadar menawarkan pengalaman wisata, tapi juga membangun kepercayaan dan loyalitas wisatawan Muslim yang semakin meningkat jumlahnya.
Selain itu, sertifikasi halal bukan sekadar label, melainkan komitmen nyata yang harus menjadi prioritas. Pelaku usaha wisata harus didorong secara aktif untuk memperoleh dan mempertahankan sertifikasi halal yang kredibel. Tugas ini bukan hanya untuk memenuhi regulasi, tapi untuk menciptakan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan yang mencari destinasi dengan integritas tinggi.
Penguatan branding NTB sebagai destinasi “Moslem Friendly World Class” harus dilakukan secara serius dengan mengemas promosi digital yang up to date, narasi yang menggugah, dan cerita yang mendalam tentang kekayaan budaya lokal yang ramah. Narasi ini sangat penting agar wisatawan tidak hanya datang sekali, tapi mau kembali dan merekomendasikan kepada orang lain.
Lebih jauh, inovasi program dan pilot project kawasan wisata ramah Muslim harus menjadi prioritas. Melalui pilot project yang konkret di destinasi unggulan seperti Lombok dan Sumbawa, kita dapat menunjukkan bukti nyata bagaimana konsep ini berjalan dan memberikan manfaat langsung. Ini juga akan menjadi model yang bisa direplikasi di daerah lainnya.
Tidak kalah penting adalah pendekatan sosial dan edukasi. Pariwisata ramah Muslim harus dihormati sebagai peluang untuk memperkuat integrasi sosial dan keberagaman. Edukasi bagi masyarakat dan pelaku industri akan membentuk kesadaran kolektif akan pentingnya layanan inklusif yang menghargai setiap pengunjung tanpa membedakan latar belakang.
Saya optimis, dengan komitmen gigih dan kolaborasi antara pemerintah, BPPD, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat NTB, daerah ini akan menjadi contoh utama destinasi halal yang berkelas dunia. Pariwisata yang tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi, tapi juga menjaga harmoni sosial dan melestarikan budaya lokal dengan penuh tanggung jawab.
Ini saatnya kita melangkah bersama, membangun pariwisata yang berkelanjutan, berkarakter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur keislaman dan kemanusiaan.
* Anggota BPPD NTB