Oleh: Abdus Syukur – Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI NTB
KASUS dugaan intimidasi terhadap jurnalis di Lombok Tengah kembali membuka mata kita. Kemerdekaan pers bukan sekadar pasal dalam undang-undang, tetapi ruh dari demokrasi itu sendiri.
Ketika seorang wartawan dilaporkan mendapat tekanan saat meliput, dan harus datang ke kepolisian untuk memberikan keterangan, sesungguhnya yang sedang diuji bukan hanya keberanian individu, tetapi juga sejauh mana negara dan masyarakat menghormati amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam Pasal 4 ayat (1), UU Pers menegaskan bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”
Namun, setiap kali seorang wartawan diintimidasi, makna dari pasal itu seolah diuji ulang di lapangan.
Pasal ini bukan hanya deklarasi normatif. Ia adalah komitmen negara bahwa tidak seorang pun boleh menghalangi kerja jurnalis — entah dengan ancaman, tekanan, atau tindakan kekerasan.
Sayangnya, masih banyak yang lupa bahwa jurnalis bekerja untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadi.
Sering kali, wartawan disalahpahami. Padahal, Pasal 5 ayat (2) UU Pers memberi mereka hak untuk “mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.”
Artinya, ketika seorang jurnalis memotret, menulis, atau bertanya, ia sedang menjalankan mandat konstitusi: memastikan informasi publik tersaji transparan.
Menekan wartawan sama halnya dengan menutup mata masyarakat dari kebenaran.
Dan dalam konteks demokrasi, kebenaran yang disembunyikan adalah bentuk pengkhianatan publik.
Selain UU Pers, hukum positif Indonesia juga tidak tinggal diam. Dalam Pasal 18 aya (1) UU Pers, disebutkan bahwa siapa pun yang menghalangi atau menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik dapat dipidana penjara hingga dua tahun atau denda hingga Rp 500 juta.
Jika ancaman atau tekanan dilakukan dengan kekerasan atau unsur pemaksaan, maka bisa pula dijerat dengan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dan ancaman kekerasan.
Dengan dua dasar hukum itu, jelas bahwa intimidasi terhadap wartawan bukan sekadar pelanggaran etika — tetapi juga tindak pidana.
Langkah PWI NTB yang turun langsung mendampingi proses BAP korban intimidasi jurnalis adalah bukti bahwa organisasi profesi masih berfungsi sebagai penjaga marwah pers.
Pendampingan itu bukan sekadar formalitas hukum, tetapi pesan moral: bahwa wartawan tidak sendirian.
Bahwa setiap ancaman terhadap satu jurnalis, adalah ancaman terhadap seluruh kebebasan pers.
Inilah makna sejati dari solidaritas profesi yang diamanatkan dalam Pasal 8 UU Pers, di mana wartawan berhak mendapat perlindungan hukum selama menjalankan tugas.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian kasus kekerasan terhadap wartawan juga muncul karena lemahnya etika sebagian pelaku media.
Namun, dua hal ini tidak boleh dipertukarkan.
Pelanggaran etika harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers,
sedangkan kekerasan fisik, intimidasi, atau ancaman harus diselesaikan melalui jalur hukum.
Menghakimi jurnalis dengan kekerasan adalah pelanggaran ganda terhadap hukum positif dan terhadap akal sehat. Sebagai insan pers, saya percaya bahwa kemerdekaan pers bukan sekadar milik wartawan — tetapi milik seluruh warga negara.
Ketika seorang wartawan dibungkam, sesungguhnya yang dibungkam adalah hak publik untuk tahu.
Karena itu, saya mengajak semua pihak — aparat, lembaga, dan masyarakat — untuk menahan diri dari tindakan yang mengancam kerja jurnalistik.
Jika ada keberatan atas pemberitaan, salurannya sudah jelas: gunakan hak jawab, hak koreksi, dan mekanisme Dewan Pers.
Demokrasi hanya bisa tumbuh di tanah yang memberi ruang bagi kritik dan keterbukaan. Dan pers adalah penjaga pagar keterbukaan itu.
Kasus intimidasi wartawan di Lombok Tengah adalah peringatan bagi kita semua. UU Pers tidak boleh berhenti di atas kertas.
Ia harus dihidupkan melalui sikap, tindakan, dan keberanian menegakkan keadilan bagi setiap jurnalis yang bekerja untuk publik.
Pendampingan yang dilakukan PWI NTB hanyalah satu langkah kecil dari perjuangan panjang menjaga kemerdekaan pers di Nusa Tenggara Barat — dan di Indonesia.
Kita tidak boleh letih.
Sebab di balik setiap berita yang ditulis dengan jujur, ada perjuangan untuk menegakkan kebenaran, demi negeri yang lebih terbuka dan berkeadilan. (*)