Oleh: Redaksi Radar Mandalika
Satu hal yang paling tidak enak dari menjadi “Dewan Kehormatan” adalah ketika Anda tahu kehormatan itu sendiri sering diabaikan.
Itulah yang dirasakan DKD PWI NTB selama ini. Ada dalam struktur. Tapi tak pernah sungguh-sungguh diundang bicara. Dikenalkan, tapi jarang diberdayakan. Kadang, keberadaannya seperti formalitas: cukup ditulis di SK, tapi jangan ikut campur.
Tapi itu cerita lama. Di periode baru ini, DKD ingin membuka halaman baru. Bukan dengan gebrakan—mereka bukan aktivis. Tapi dengan teguran yang pelan, nasihat yang tajam, dan ketegasan yang sejuk.
“DKD bukan macan tidur. Kami hanya terlalu sering dibaringkan,” kata Abdus Syukur, Ketua DKD PWI NTB yang juga wartawan senior dan pemilik rambut yang makin tipis tapi pikirannya tetap tajam.
Tugas DKD, Terlalu Mulia untuk Dibiarkan
Secara teori, tugas DKD itu sederhana tapi sakral:
Menjaga Kode Etik Jurnalistik tetap berdiri tegak.
Memberi nasihat etik pada pengurus, kalau-kalau mulai tergelincir.
Menjadi penengah saat anggota saling gontok.
Menjaga kehormatan organisasi, terutama dari permainan politik uang dan transaksi bawah meja.
Membina wartawan agar tetap punya nurani, bukan hanya nalar.
Tapi teori sering berhenti di kertas. Praktiknya, DKD lebih sering dijadikan pajangan. Bahkan dalam forum resmi, DKD sering hanya diminta tanda tangan, bukan pendapat.
DKD Ingin Bicara, Bukan Menggurui
Syukur tahu betul, wartawan hari ini hidup di zaman serba cepat. Kadang cepat tayang, lambat berpikir. Maka DKD hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk mengajak merenung: Apakah yang kita tulis hari ini masih berpihak pada kebenaran, atau sudah menjadi alat kekuasaan?
“Kami tidak bawa palu hakim. Tapi kami punya cermin. Mari kita lihat wajah kita di situ. Masihkah kita wartawan, atau hanya tukang siar?” kata Syukur.
DKD memang bukan lembaga yang populer. Tapi justru karena itu, mereka harus jadi penjaga senyap. Menjadi saksi ketika organisasi mulai goyah. Menjadi suara yang tak ramai, tapi jujur.
Jika dulu DKD hanyalah bayang-bayang, kini ingin menjadi cahaya kecil di lorong organisasi. Tidak menyilaukan, tapi cukup untuk menunjukkan arah. Dan untuk itu, mereka tak butuh panggung. Hanya butuh didengar. (*)
Keterangan Foto:
Ketua DKD PWI NTB, Abdus Syukur (dua dari kiri) pose bersama pengurus baru PWI NTB. (ist)