Oleh: Abdus Syukur

Wartawan itu makhluk aneh. Bisa nongkrong di warung kopi sambil bahas teori konspirasi global, lalu sorenya wawancara jenderal bintang tiga seolah-olah sahabat lama. Pagi nulis soal rakyat kecil, malamnya duduk manis di panggung elite.

Maka saya curiga, jangan-jangan wartawan itu sebenarnya makhluk spiritual—cuma sering lupa jalan pulang. Terlalu sibuk mengejar breaking news, sampai lupa memeriksa dirinya sendiri: “Apa kabar nuraniku hari ini?”

Nah, di tengah kebisingan dunia pers itu, berdirilah DKD—Dewan Kehormatan Daerah. Lembaga kecil yang sering dianggap kecil. Tak punya anggaran gede, tak masuk siaran pers, tak dilirik influencer.

Tapi tugasnya? Menjaga sesuatu yang makin langka: kehormatan.

DKD itu bukan seperti intel, bukan pula jaksa. Ia lebih mirip kiai kampung yang duduk di serambi mushalla. Tak bising, tapi tajam. Tak sibuk cari panggung, tapi waspada jika ada muridnya mulai keasyikan main TikTok sambil lupa mengaji.

DKD tidak menginterogasi. Tidak memvonis. Ia cuma bertanya hal sederhana yang bikin gemetar:
“Kamu menulis ini buat siapa?”
“Engkau mewartakan atau mengiklankan?”
“Ini berita atau barter jasa?”

Pertanyaan-pertanyaan begini, di zaman sekarang, sering dianggap gangguan. Padahal justru itulah penyeimbang. Karena hari ini, wartawan bukan lagi hanya jurnalis. Kadang dia influencer. Kadang broker. Kadang alat. Kadang—maaf—bahkan jadi algojo opini publik.

Banyak yang marah kalau dipanggil DKD. Katanya, “Kau siapa mengatur aku?”
Padahal DKD bukan mau mengatur. Ia cuma ingin mengingatkan:
“Pena itu bukan senjata, tapi amanah. Dan kamu tak sedang menulis di dinding kamar, tapi di ruang kepercayaan rakyat.”

Sanksi dari DKD itu bukan cambuk, tapi kaca. Supaya wartawan bisa lihat bayangannya sendiri: apakah ia masih layak disebut kuli tinta, atau sudah berubah jadi kuli kekuasaan.

Tapi sayangnya, banyak DKD dibiarkan jadi lemari tua. Dibiarkan mengeluh di sudut rapat. Tak dikasih ruang, tak dikasih suara. Karena di dunia wartawan sekarang, yang paling nyaring adalah yang paling dekat dengan pemilik modal.

Padahal kalau DKD hanya jadi formalitas, maka rusaklah fondasi. Karena tanpa kehormatan, profesi ini hanya kerumunan orang yang sibuk memotret keburukan orang lain, sambil lupa mencuci mukanya sendiri.

Saya tak tahu siapa yang baca tulisan ini. Tapi kalau Anda wartawan, ingatlah: kita ini bukan hanya pembawa kabar. Kita ini pemikul kepercayaan. Dan kepercayaan itu bukan dibangun dengan viral, tapi dengan jujur.

DKD bukan penguasa, bukan pula penegak hukum. Ia cuma lilin kecil di tengah panggung penuh lampu sorot. Ia tak bisa menghentikan badai, tapi bisa terus menyala—agar kita tahu ke mana arah pulang.

*Ketua DKD PWI NTB

Ilustrasi gambar: internet

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *