IST / RADAR MANDALIKA PROSESI : Masyarakat adat dan pemangku adat serta raja-raja se-nusantara, melakukan salah satu ritual, yakni penumpahan air suci yang diambil dari 13 mata air.

Para Raja Se-Nusantara Berkumpul untuk Bersilaturahmi dan Gelar Prosesi Sakral

 

Ritual Adat Ngayu-Ayu menjadi tempat berkumpulnya para raja se-nusantara. Ngayu-ayu adalah prosesi sakral sekali dalam tiga tahun.

MUHAMAD RIFA’I – LOMBOK TIMUR

GAWE Adat Ngayu-ayu adalah ritual sakral yang biasa dilakukan di Bale Adat Sembalun Bumbung Kecamatan Sembalun Lombok Timur (Lotim), khususnya oleh masyarakat Kawedanan Sembalun. Ritual adat ini diikuti oleh para raja-raja se-nusantara. Para raja ini bukan sekadar berkumpul bersilaturahmi, tapi ada berbagai proses yang dilaksanakan.

Pada upacara Ngayu-Ayu ini, dilakukan sebagai bentuk peringatan atas seluruh rangkaian sejarah. Sekaligus sebagai penghormatan atas peran leluhur yang begitu besar, dalam kehidupan kita saat ini. Namun bedanya, Ngayu-ayu sekarang ini menjadi momen lahirnya Masjid dan Universitas Kebudayaan.

Istilah Ngayu-Ayu merupakan akronim, dimana NG yakni Ngamplang berarti mengumpulkan, A yakni Air, Y yakni Yalah, U adalah Upacara, A ialah Adat, Y ialah Yang dan U adalah Utama. Jadi secara sederhana Ngayu Ayu dapat diartikan, sebagai suatu upacara mengumpulkan air dari 13 mata air, dengan tujuan menjaga marwah leluhur, dan memelihara keutuhan Gumi Sembalun.

Sementara dalam kaca mata Islam Ngayu-ayu, diartikan sebagai sifat-sifat Allah SWT, dimana Hayyu artinya Hidup dan Qoyyum berarti kuat dan berdiri sendiri. Sehingga Ngayu-Ayu dapat diartikan sebagai suatu upacara, untuk menghidupkan dan menguatkan nilai-nilai spiritual adat Gumi Sembalun.

Sebelum prosesi puncak Ngayu-ayu, terlebih dahulu dilakukan pengambilan air suci di 13 mata air, dilakukan para pemangku adat, untuk dikumpulkan di Gazebo Desa Sembalun Bumbung. Pada Rabu malam, masyarakat adat bersama pemaos atau pujangga sasak, membaca Lontar JatiSwara.

Kemarin, begitu fajar menyingsing ritual menghaturkan SESAMPANG oleh Pemangku Adat mulai dilakukan. Sesampang ini merupakan, prosesi pemberitahuan pada leluhur dan penguasa alam, menandakan Ngayu-ayu segera dilaksanakan. Ini merupakan bagian dari tata cara meminta izin dan restu kepada para leluhur dan kepada Allah SWT. Hal ini dimaksudkan untuk penghormatan terhadap alam, agar senantiasa terjalin kesinambungan dengan manusia, untuk menjaga keseimbangan yang tetap lestari.

Setelah itu, dilakukan penyembelihan kerbau oleh Kyai Adat, sesuai trah atau keturunan. Penanaman kepala kerbau oleh pemangku adat, sebagai Pantek (Pasak, red) Gumi Paer Sembalun. Selesai menanam kepala kerbau, dilakukan pemberangkatan air dari Gazebo Desa Sembalun, menuju Lapangan yang menjadi tempat upacara aAdat, diiringi masyarakat adat dan tari tandang mendet.

Dari semua proses telah dilakukan, kemudian diisi dengan silaturahmi, dilanjutkan dengan tiga prosesi lemparan ketupat. Lemparan pertama, dimulai dengan mengucapkan ‘Tanggal Lime (5) yaitu sebagai lambang kesempurnaan salat lima waktu. Lemparan kedua, dengan mengucapkan ‘Tanggal Lime Olas’ (15), yaitu sebagai lambang kesempurnaan bulan purnama. Lemparan ketiga, mengucapkan Tanggal Selae (25), yaitu sebagai lambang kesempurnaan asal usul ajaran Para Nabi, yaitu ajaran keTuhanan yang dibawa oleh 25 Nabi dan Rasul.

Selesai lemparan topat, dilakukan Upacara Perang Pejer (Perang Penolak Balak), dan penumpahan air dari semua mata air di Kali Pusuk, sebagai simbol penyatuan Gumi, Air, Hutan, dan Alam lingkungan. Terakhir, pembacaan doa selamat oleh Kiyai Adat.

“Alhamdulilmah, proses ngayu-ayu berjalan lancar,” kata Sunardi, Kepala Desa Sembalun Bumbung yang juga trah dari Ketua Adat. (*)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *