Nora Larang Ayah Jual Tanah, Bambang Pernah Nguli Bangunan
Menjadi taruna dan taruni angkatan udara, laut dan darat tidak lah mudah. Demikian juga akademi kepolisian (Akpol). Namun ada cerita yang miris dibagikan Bambang Wahyu Setioko dan Nora Septiana. Seperti apa?
DIKI WAHYUDI-LOMBOK TENGAH
DALAM wawancara eksklusif bersama Radar Mandalika Official, dua calon perwira yang Juni ini akan dikukuhkan membeberkan masing-masing perjalanan sehingga mereka bisa sampai dengan saat ini.
Dimulai dari Brigadir Nora Septiana, ia merupakan wanita asal Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. Dia masuk bisa masuk ke Akpol diawali dari prestasinya di dunia beladiri karate. Ia pun mengaku sejak awal dirinya mulai mandiri. Di tengah jalan saat lulus SMA, ia pun mendadak ingin memutuskan masuk Akpol, rencana ini pun diceritakan kepada kedua orangtuanya. Namun keluarga ragu atas mimpi besar putrinya itu. Belum lagi ditambah kondisi keluarga yang kurang mendukung.
“Saya hanya minta kepada bapak dan ibu bantu sama doa saja. Saya bilang pa, yakin sama Nora ya, insya allah saya bisa,” tuturnya, Selasa kemarin.
Di tengah jalan, suara mengganggu mulai terdengar. Tetangga sekitar rumahnya mulai bersuara dan memberikan sinyal pesimis kepada keluarganya.
“Emang mudah masuk Akpo, punya uang berapa miliar. Ini suara yang membuat kami mulai ragu, tapi saya terus berusaha dan yakin,” ceritanya.
Di tengah perjuangan yang bulat, Nora pun sempat mendengar kabar orangtua hendak menjualkannya tanah, itu semua untuk Nora. Tak disangka kabar ini pun terdengar ke telinga Nora, ia pun langsung meminta ayahnya untuk tidak melakukan hal itu.
Tak lama, ayahnya pun memutuskan membatalkan niat itu semua. Langkah itu diambil ayahnya karena terpengaruh cerita warga sekitar yang harus menyiapkan uang untuk bisa lolos.
“Alhamdulillah, ini hasil perjuangan saya dan doa kedua orangtua bahkan keluarga semua. Pernah sekali saya membayangi bahwa ini seperti mimpi saja,” katanya.
Sementara Nora mengaku ayahnya merupakan seorang sopir bus yang sudah puluhan tahu melakoni profesi itu. Sementara jika bicara penghasilan tak seberapa, apalagi di saat semua rumah memiliki kendaraan pribadi hasil nambang tak seberapa.
“Kadang 100 ribu, bahkan 50 ribu sehari. Kan ini hanya untuk kebutuhan setiap hari saja,” bebernya.
Selama mengikuti proses pendidikan Akpol, sang ayah selalu memastikan setiap dirinya membutuhkan uang untuk fotocopy syarat dan lainnya selalu bilang ada. Nyatanya Nora tahu dari kakanya bahwa pagi-pagi cari pinjaman di tetangga sekitar rumah.
“Ini yang menyedihkan saya, luar biasa ayah memperjuangkan saya. Karena memang saya harapan satu-satunya untuk mengangkat nama keluarga,” tuturnya.
Dari nasib yang diberikan saat ini, Nora berencana akan mendaftarkan haji kedua orangtua. Selain itu, ia akan membukakan lapangan pekerjaan baru untuk sang ayah.
“Ayah mau dibelikan kambing, saya minta sudah sekarang ayah tua dan tidak kuat jadi sopir bus,” ujarnya.
Sementara itu, Bambang Wahyu Setioko juga memiliki cerita yang hampir sama. Dia merupakan anak seorang petani jagung dari desa terpencil di Belora, Jawa Tengah. Untuk sampai ke kampung halamannya saja harus melalui tanah berlumpur saat musim hujan.
“Saya tinggal di desa terpencil,” katanya.
Sejak kecil memang Bambang sudah bercita-cita ingin menjadi anggota TNI, bahkan berkas syarat pun disiapkanya sejak lama. Kendati lahir dari keluarga tak mampu, namun ia optimis bisa mengejar mimpinya ini.
“Saya taunya bintara saja, ngak tahu ada Akmil atau apa itu,” ujarnya.
Tamat SMA, ia pun memutuskan niat ke Pontianak ke rumah keluarga orangtuanya. Di sana, ia sempat bekerja sebagai kuli bangunan. Bahkan pernah nguli bangunan di markas TNI, dari sana ia pun mendapatkan ada brosur pembukaan TNI, dia pun mulai menyiapkan diri untuk mengurus syarat yang sejak lama disiapkan.
“Saya pun daftar tahun 2018, Alhamdulillah keterima. Saya kemudian pinjam HP teman untuk memberikan kabar ini ke orangtua di kampung,” ceritanya.
Proses mengikuti pendidikan pun lama, setidaknya 3 tahun dan perlahan baru dirinya sadar daftar bukan di bintara TNI, melainkan akademi militer (Akmil). “Saya pengumuman kelulusan selama pendidikan baru saya hubungi lagi orangtua pakai HP teman. Besoknya datang dan lama sekali bisa temukan saya di lapangan lokasi pengumuman, bahkan ibu pernah mikir bahwa saya tidak lolos hanya mau bohongi saja. Alhamdulillah saya ketemu ibu kemudian setelah setengah jam mencari anaknya yang makin hitam dan jelek,” tuturnya tersenyum.
Di tengah keberhasilannya menjadi seorang calon perwira, Bambang mengaku tidak akan pernah berhenti membantu orangtua bertani pada saat lepas tugas atau pulang kampung.
“Saya siap ditugaskan dimana saja, di Papua pun siap,” pungkasnya.(*)