Pemilu Presiden dan Pileg pada 14 Februari sudah usai. Namun gonjang ganjing politik masih terdengar. Dunia maya disesaki komentar dan data pro kontra hasil perolehan atau pola perhitungan suara.

Tudingan kecurangan terdengar kencang. Di medos, postingan netizen terkait hasil kecurangan tak terbendung. Fakta fakta kecurangan diungkap dengan telanjang. Benarkah?

Semua terpulang kepada kejujuran tukang hitung (KPU) dan petarung. Namun yang pasti belum lama ini mengakui memang terjadi kesalahan tulis dan hitung.

Ketua KPU Pusat Hasyim Asy’ari minta maaf atas kekeliruan itu. Banyak pihak kemudian menanggapi sinis dengan menyatakan tidak cukup dengan minta maaf.

Lalu bagaimana menjaga agar kondisi tetap kondusif di masa transisi ini? Tentu kita tidak bisa melarang netizen memosting hasil hasil perhitungan suara. Kita berharap ada goodwill dari para pemangku kebijakan.

Sikap bupati dan gubernur saat transisi kepemimpinan nasional seharusnya mencerminkan kedewasaan politik dan profesionalisme. Mereka perlu menjaga netralitas dan menghormati proses transisi, apapun hasilnya.

Bupati dan Gubernur yang secara kebetulan di pihak calon presiden yang dinyatakan menang versi quick count mesti metral. Minimal tidak “mengijinkan” para pendukung untuk euforia berlebihan sebelum saatnya. Bersabar menunggu perhitungan real count yang saat ini sedang dilakukan penyelenggara Pemilu, KPU.

Selain itu, sikapnya seharusnya juga mencerminkan kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Mereka perlu berusaha menjaga stabilitas dan keamanan di daerahnya selama transisi kepemimpinan nasional, serta berfokus pada keberlangsungan pelayanan publik dan pembangunan daerah.

Dengan demikian, sikap bupati dan gubernur yang bijaksana dan berorientasi pada kepentingan masyarakat dapat membantu menciptakan suasana transisi yang stabil dan produktif bagi daerah dan Indonesia umumnya. (*)

100% LikesVS
0% Dislikes
Post Views : 195

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *