Usaha Peninggalan Keluarga, Perhari Omzet Tembus 1,2 Juta
M. Juhri, 34 tahun warga Dusun Perandap Desa Bunut Baok, Kecamatan Praya merupakan bos tempe organik di desa setempat. Dia sekarang sudah sukses. Usaha ini bisa dijakankannya, berkat usaha peninggalan keluarga yakni usaha tempe. Seperti apa? Berikut catatan wartawan radarmandalika.id group.
KHOTIM-PRAYA
TEMPE ini berbeda dari tempe pada umumnya. Dari segi tampilan sama, akan tetapi pengolahan dan bahan yang digunakan letak perbedaannya.
Bahan baku digunakan, jamur daun waru, ya inilah sebagai pengganti racikan dan pengembang kue yang dia gunakan.
Cerita awal, ini bermula saat ibunya pada tahun 2006 silam mengawali usaha tempenya. Saat itu si bos ini masih bujang bujang. Sementara dirinya mulai ikut terjun di usaha tempe ini tahun 2012 sampai saat ini. Dengan modal seadanya, dia bertekat untuk berusaha. Karena pada saat itu, ia ingin kuliah akan tetapi tidak ada biaya.
“Solusinya adalah berusaha buat tempe ini,” cerita Juhri kepada wartawan radarmandalika.id group.
Katanya, dengan berbekal ilmu warisan tempe dari orang tua dan belajar dari para pengusaha tempe lainnya. Juhri pun saat ini sukses mengembangkan bisnisnya meskipun lokalan, akan tetapi mampu menghidupi keluarga kecilnya dan beberapa karyawan di rumah produksi sederhananya.
Dia menceritakan, seperti proses produksi tempe pada umumnya. Mulai dari merebus kedelai, memecah kedelai hingga proses fermentasinya dan lama fermentasinya. Akan tetapi perbedaanya adalah ketika pemberian jamur pengurai untuk menjadikan atau mematangkan tempe sampai siap konsumsi.
“Biasanya orang buat tempe menggunakan ragi, tepung , dan pengembang kue sebagai bahan yang dicampurkan, akan tetapi kami hanya menggunakan daun waru saja yang dikeringkan dan telah tumbuh jamur di daunnya,” beber dia.
“Kami pakai mencampur bahan kedelai yang sudah siap di-fermentasi. Dan pemakaiannya sedikit saja. Dengan ukuran 3 cm x 5 cm daun waru yang telah ditumbuhi jamur bisa diaplikasikan pada 400 kg kedelai,” sambungnya.
Katanya, setiap harinya rumah produksi ini mampu menghabiskan 100 kg kedelai untuk diolah untuk memenuhi kebutuhan konsumen di beberapa lokasi. Seperti di Pasar Renteng Praya, Pasar Jelojok Kopang dan Pasar Rarang Lombok Timur. Ada juga biasa datang membeli tempe ke rumah untuk dijual kembali.
“Kalau omzet rata- rata perhari mencapai 1,2 juta rupiah,” kata Juhri.
Dilanjutkan, kualitas tempe organik ini sudah tidak diragukan lagi, dengan bahan alami kualitaspun lebih unggul daripada tempe pada umumnya. Selain menyehatkan karena tanpa bahan kimia, tempe ini juga tahan lama, rasa lebih gurih, tempe lebih awet bertahan sampai empat hari.
“Limbah dari produksi ini kami pakai sebagai pakan ternak, dan sangat mempercepat proses penggemukan ternak mengigat gizi pada kedelai bagus,” ujarnya.
Sementara, Kadus Perandap Hendra Rusli berharap adanya pembinaan oleh pemerintah terkait mengenai usaha pengembangan masyaraat ini. Seperti pembinaan pembuatan IUMK, PIRT, BPOM, dan legalitas halal, supaya bukan hanya lokal saja yang bisa menikmati dan menjadi pangsa pasarnya, akan tetapi ke seluruh Indonesia, karena mengingat tingginya animo masyarakat dala pola hidup sehat.(*)