PRAYA – Sebelumnya, sejumlah pedagang bakso mengeluhkan tingginya pajak warung bakso yang diterapkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Tengah (Loteng). Hal ini kemudian membuat Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bappenda) Loteng buka suara.
Soal pedagang bakso yang diduga tidak taat bayar pajak atau malas malasan menyetor pajak sebesar 10 persen dari omset per bulan menjadi atensi Pemkab Loteng. Pasalnya, sebelumnya sejumlah pedagang warung bakso sempat protes bahkan ogah-ogahan dalam menunaikan kewajibannya membayar pajak yang diduga semaunya.
Kepala Bappenda Loteng, Baiq Aluh Windayu mengungkapkan, pihaknya mengingatkan kepada para pengusaha bakso supaya segera membayar pajak yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) untuk pembangunan daerah. Mengingat pajak yang disetorkan ke daerah bukanlah dari uang pribadi atau hasil penjualan pedagang, melainkan pajak sebesar 10 persen dari omset merupakan pajak para pembeli yang dititipkan melalui penjual.
Pihaknya menerangkan, penarikan pajak berdasarkan peraturan daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Pada pasar 1 ayat 10, restoran adalah fasilitas penyediaan makanan atau minuman dengan dipungut biaya bayaran yang mencakup juga rumah makan, cafeteria, kantin, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga atau katering. Pada pasal 13, tarif 10 persen dengan pola sell assismen wajib pajak menghitung sendiri dan menyetor gelondongan pajaknya ke daerah.
“Khusus bakso, data kami dapatkan warung Bakso MBA Praya bayarnya terakhir pasar 12 Juli 2023. Masa pajak bulan Juni dibayar Rp 400 ribu, artinya dalam bulan Juni MBA memperoleh omset Rp 4 juta. Artinya sehari omsetnya Rp 133 ribu saja setara 8 mangkok perhari,” ungkap Baiq Aluh Windayu saat konferensi pers bersama Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Loteng di Kantor Bupati Loteng, Senin (4/9).
Terkait penarikan pajak, pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan mengumpulkan sdnumlah pedagang bakso. Pihaknya menjelaskan kewajiban sebagai wajib pajak, dan wajib pajak haruslah membayar pajak sesuai aturan atau regulasi yang ada.
Pihaknya mencermati setoran pajak dari pemilik warung bakso. Saat menyetor pajak Rp 250 ribu misalnya, ini dinilai sangat tidak logis. Karena itulah pihaknya di Bappenda melakukan diskusi dengan pemilik warung dan melakukan klarifikasi, dan waktu itu ada berita acara yang ditanda tangani.
“Dari pengakuan penjualan bakso MBA dimana penjualannya mencapai 150 mangkok, maka 15 mangkok ke daerah. Ketika 150 mangkok harganya Rp 16.000 per mangkok maka sebulan sekitar Rp 72 juta dan pajaknya Rp 7,2 juta, dan itu telah disanggupi,” ujarnya.
“Munculnya berita mereka dipaksa maka kami heran ogah bayar pajak dan lainnya, maka kami turunkan tim lakukan uji petik,” tambahnya.
Bappenda Loteng berharap pemilik warung Bakso MBA yang beroperasi diperempatan Masjid Agung Praya agar membayar pajak sesuai kesepakatan yang telah ditanda tangani. Bappenda mencatat, hanya 13 pedagang dari 20 pedagang bakso yang sudah menunaikan kewajibannya.
“Dua bakso di depan Masjid Agung yakni pedagang bakso Marem dan bakso MBA telah memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai warung wajib pajak daerah. Salah satu syaratnya memiliki penjualan di atas 5 juta. Nah berdasarkan Perda nomor 14 tahun 2010 pasal 12 dasar pengenaan pajak restoran adalah pembayaran yang diterima. Dari pasal 13 pajak restoran ditetapkan sebesar 10 persen,” jelasnya. (tim)