Abdus Syukur bukan hanya wartawan. Ia adalah sejarah itu sendiri. Namanya melekat erat dalam jagat jurnalistik Nusa Tenggara Barat. Calon Ketua PWI NTB 2025-2030 itu, memulai kariernya di dunia pers pada tahun 1989. Saat itu, masih banyak yang menulis dengan mesin tik dan mengantar naskah ke redaksi naik angkot.
Media pertama yang mencatat jejaknya adalah Koran Nusa Tenggara, milik Kodam Udayana. Dari media ini, Abdus Syukur belajar menulis, menyunting, dan mengenal apa itu integritas jurnalisme. Koran itulah “sekolah jurnalistik”-nya yang pertama—dan terpenting.
Tak puas hanya di level lokal, Abdus Syukur kemudian merantau ke jagat nasional. Ia bergabung sebagai koresponden Suara Karya di Jakarta. Di sana, ia menyerap etos kerja media besar. Berita tak boleh telat. Fakta harus akurat. Dan jaringan harus luas. Tiga hal itu ia bawa pulang ke Mataram.
Di Mataram, Abdus Syukur bergabung dengan Suara Nusa, yang kemudian menjadi bagian dari Lombok Post—media lokal yang menjulang di bawah payung Jawa Pos Group. Ia menjadi wartawan tulen: menulis pagi, turun lapangan siang, menyunting malam.
Kerja kerasnya berbuah. Tahun 2009, Abdus Syukur diangkat menjadi Pemimpin Redaksi Lombok Post. Di sana, ia bukan hanya memimpin, tapi membentuk budaya. Ia mengubah ruang redaksi menjadi ruang berpikir. Wartawan menjadi lebih kritis. Redaksi menjadi lebih tajam. Wartanya tak hanya cepat, tapi dalam.
Tahun 2013, ia keluar dari zona nyaman. Ia membangun Radar Mandalika dari nol. Media lokal itu kini tumbuh menjadi salah satu referensi berita terpercaya di NTB. Di sinilah, Abdus Syukur menunjukkan sisi lain dari jurnalisme: sebagai pengusaha media.
Tapi kiprahnya tak berhenti di meja redaksi. Tahun 2023, Abdus Syukur diangkat sebagai Penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan Ahli Pers Dewan Pers. Dua posisi yang tak bisa dibeli, tapi harus diraih dengan reputasi dan dedikasi panjang.
Sebagai penguji UKW, ia hadir bukan hanya menguji, tapi membimbing. Sebagai ahli pers, ia menjaga marwah profesi ini dari kabar palsu dan kepentingan sesaat. Wartawan muda mengenalnya bukan sebagai senior, tapi sebagai guru yang tak pelit ilmu.
Kini, Abdus Syukur lebih dari sekadar wartawan. Ia adalah arsip hidup jurnalistik NTB. Ia sudah menulis puluhan ribu berita, tapi satu hal yang belum pernah ia tulis: surat pengunduran diri dari dunia jurnalistik.
Karena baginya, wartawan itu tidak pernah pensiun. Selama tangan masih bisa menulis dan hati masih bisa gelisah melihat ketidakadilan, selama itu pula ia akan terus menjadi jurnalis.
Abdus Syukur—nama yang bukan hanya ada di byline, tapi juga di lembar sejarah jurnalistik NTB. (*)
Keterangan Foto: Abdus Syukur (dok pribadi)