ADA masa ketika Hukum Islam tidak sedang diuji oleh kritik dari luar, melainkan oleh kita sendiri—para pengkaji, pengajar, dan penuntut ilmunya. Bukan pada kekuatan teks yang kita rujuk, tetapi pada kejujuran kita dalam memaknainya. Di ruang akademik, hukum kerap tampil rapi dalam definisi dan teori, namun sering kehilangan denyutnya ketika berhadapan dengan kenyataan hidup.
Syariat sejatinya hadir untuk manusia. Ia turun bukan di ruang hampa, melainkan di tengah realitas sosial yang sarat persoalan. Karena itu, memahami Hukum Islam tidak cukup berhenti pada teks. Teks yang dilepaskan dari konteks bisa berubah menjadi beban, bahkan melahirkan ketidakadilan. Di titik inilah refleksi menjadi keharusan: apakah ilmu yang kita kembangkan benar-benar mendekatkan manusia pada keadilan, atau justru menjauhkannya?
Kita sering merasa puas dengan ketepatan dalil dan kelengkapan rujukan, tetapi jarang berhenti sejenak untuk bertanya tentang dampaknya. Padahal, maqashid syariah mengajarkan bahwa hukum harus menjaga kehidupan, akal, dan martabat manusia. Ketika sebuah pandangan hukum justru melukai rasa keadilan, mungkin yang perlu ditinjau ulang bukan realitas sosialnya, melainkan cara kita membaca teks.
Refleksi itu terasa begitu nyata ketika saya duduk di “kursi panas” ujian tesis Prascasarjana Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) UIN Mataram, Rabu, 24 Desember 2025. Empat dosen berada di hadapan saya: satu profesor dan tiga doktor. Ketua sidang, Dr. Maksum Ahmad, MH, memberi waktu sepuluh menit untuk mempresentasikan tesis berjudul “Peran Media Sosial dalam Penyelesaian Sengketa Keluarga Islam: Studi Kasus pada Layanan Konsultasi Online.” Setelah itu, ujian sesungguhnya dimulai.
Satu per satu, para penguji membedah isi tesis—dari latar belakang hingga kesimpulan. Dr. Moh. Asyiq Amrulloh menguliti ketajaman latar belakang dan kerapian daftar pustaka yang masih perlu disempurnakan. Dr. Arino Bemi Sado, S.Ag., M.H, dengan ketelitian khasnya, menyoroti sistematika penulisan yang harus tunduk pada pedoman kampus terbaru—dari penomoran hingga footnote. Sebagai pembimbing, ia menunjukkan bahwa ketepatan teknis bukan perkara sepele, melainkan bagian dari disiplin akademik.
Sementara itu, Prof. Dr. Muhammad Harfin Zuhdi, MA, mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: apa alasan akademik pemilihan judul tesis tersebut? Pertanyaan itu sederhana, tetapi menggugah. Ia memaksa saya kembali pada niat awal penelitian—tentang bagaimana hukum Islam merespons perubahan sosial di era digital, khususnya dalam persoalan keluarga.
Dari ruang ujian yang Alhamdulillah dinyatakan LULUS itu, saya belajar satu hal penting. Perjalanan intelektual seorang Magister Hukum Islam tidak berakhir pada sidang tesis atau gelar akademik. Justru di sanalah ia dimulai. Ilmu menuntut tanggung jawab moral. Ia menuntut kerendahan hati untuk mengakui kompleksitas kehidupan dan keberanian untuk tidak menyederhanakan persoalan dengan jawaban hitam-putih.
Di tengah dunia yang bergerak cepat, Hukum Islam dipanggil untuk setia pada nilai, bukan terjebak pada bentuk. Kesetiaan pada nilai inilah yang menjaga hukum tetap hidup. Tanpa refleksi, hukum hanya akan menjadi arsip—tersimpan rapi, tetapi tak lagi menyapa nurani.
Pada akhirnya, Hukum Islam akan selalu relevan sejauh ia dijalankan dengan kejujuran intelektual dan keberpihakan pada kemanusiaan. Sebab hukum yang paling kuat bukanlah yang paling sering dikutip, melainkan yang paling mampu menjaga manusia tetap manusia. (syukur)
Keterangan Foto:
Foto bersama penguji usai ujian tesis di UIN Mataram, Rabu, 24 Desember 2025. (ist)
**
Catatan:
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada pihak Kampus UIN Mataram, para dosen pembimbing, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI), Dr Syukri, MAg, atas segala perhatian, bimbingan, arahan, serta dukungan akademik yang diberikan selama proses perkuliahan hingga penyusunan tesis. Dengan pendampingan yang penuh dedikasi dan suasana akademik yang kondusif, saya dapat menyelesaikan seluruh tahapan studi dengan baik dan akhirnya meraih gelar Magister Hukum. Semoga segala kontribusi dan pengabdian tersebut bernilai ibadah serta membawa keberkahan bagi pengembangan keilmuan dan institusi.
**