Peristiwa di Teluk Ekas, Lombok Timur, menjadi tamparan keras bagi wajah pariwisata NTB. Sebuah video yang beredar luas menunjukkan tindakan Bupati Lombok Timur yang diduga mengusir pemandu wisatawan—nelayan lokal yang tengah membawa tamu dengan perahu tradisional. Langkah ini bukan saja menciptakan kegaduhan, tapi juga menyingkap kegagalan mendasar dalam tata kelola pariwisata daerah.
Di tengah upaya berbagai pihak membangun sinergi untuk mendorong sektor wisata sebagai lokomotif ekonomi daerah, keputusan mengusir para pelaku jasa—yang notabene adalah masyarakat lokal—justru mencederai semangat kolaborasi. Pemandu wisata bukan perusak. Mereka adalah penggerak. Mereka jembatan antara keindahan destinasi dan kepuasan tamu. Ketika mereka diperlakukan seperti ancaman, maka yang sejatinya terusik bukan hanya mereka, tapi fondasi ekonomi rakyat.
Alasan yang disampaikan Bupati soal “gangguan dari luar” tidak menyentuh akar persoalan. Jika benar ada pihak yang mengganggu kenyamanan, maka tugas pemerintah adalah menertibkan pelaku gangguan—bukan menghukum pemandu yang justru menjadi garda depan promosi daerah. Ini bukan solusi, ini pengalihan tanggung jawab.
Radar Mandalika memandang, tindakan mengusir pemandu wisatawan sama saja dengan mengusir mata pencaharian warga. Nelayan yang menyewakan perahu, pemilik homestay, penjaja makanan, hingga pengrajin lokal—semua terdampak oleh ketidaktegasan dan kebijakan yang tak berpihak. Padahal, mereka inilah ujung tombak pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) yang selama ini didorong di NTB.
Jika keamanan dan kenyamanan wisatawan terganggu, maka yang dibutuhkan adalah regulasi yang adil, bukan intimidasi. Jika pengelolaan kawasan tumpang tindih, maka solusinya adalah kolaborasi lintas wilayah, bukan pembatasan sepihak. Lombok Timur bukan pulau sendiri. Ia bagian dari entitas pariwisata NTB yang saling bergantung.
Tak perlu bicara investasi jika rasa aman tidak dijamin. Tak perlu bicara perubahan jika perubahan itu menciptakan ketakutan. Pemimpin yang bijak tidak memperuncing konflik, tapi mencari jalan tengah dengan merangkul semua pihak.
Bupati harus memahami bahwa membangun pariwisata bukan sekadar membangun infrastruktur, tapi membangun kepercayaan. Dan kepercayaan tidak akan tumbuh dari pengusiran dan arogansi. Ia tumbuh dari keadilan dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Karena sejatinya, mengusir pemandu wisatawan berarti mengusir masa depan daerah itu sendiri. Pariwisata adalah napas rakyat. Jangan padamkan dengan ego kekuasaan. (*)