LOBAR – Sempadan pantai Tanjung Bias Desa Senteluk, Kecamatan Batulayar Lombok Barat digugat warga yang mengklaim menjadi bagian lahan miliknya. Persoalan itupun sudah masuk hingga Pengadilan Negeri dan tengah berproses atas Perkara Perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Lantaran sudah adanya pengunaan lahan itu sebagi lokasi lapak. Kepala Desa, BUMDes, Kecamatan, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) turut terseret menjadi tergugat atas gugatan warga itu. Majelis hakim bersama para pihak yang bersengketa sudah turun mengecek batas lahan yang bersengketa itu, Kamis (23/12).
Saat turun, pihak Kuasa hukum Penggugat menjelaskan berdasarkan sertifikat sebagian lahan sempadan pantai Tanjung Bias dua itu masuk dalam lahan milik klainnya yang luasnya mencapai sekitar 40 are lebih itu. Sehingga beberapa lapak kuliner dikawasan Tanjung Bias dua itu berdiri diatas lahan milik yang diklaim. Hanya saja saat itu pihak KKP bersama pihak desa dan Bumdes menegaskan jika sempadan Pantai Tanjung Bias itu merupakan lahan milik Negara sesuai dengan peraturan presiden tentang sempandan pantai.
Kuasa Hukum Penggugat, Abdul Hanan mengatakan jika pihaknya sudah menujukan batas-batas lahan klainya sesuai sertifikat kepemilikan kepada majelis hakim. Baik itu batas timur, selatan, utara dan barat yang hingga mencapai sempadan pantai. Luas lahan milik klainya atas nama Ala Robin Sugih Mukti Ningsih luasnya mencapai sekitar 46 are.
“Bahwa batas-batas yang saya sebutkan tadi adalah batas-batas tanah hak milik klain kami yang sudah ada sertifikatnya,” ujarnya saat dikonfirmasi selepas pengecekan lahan sengketa.
Hanya saja ketika disinggung sempadan pantai merupakan tanah milik negera sesuai peraturan negara, Hanan mengatakan pihaknya menyerahkan kepada majelis hakim nantinya soal itu.
“Yang jelas aturan itu terbit setelah terbit sertifikat. Sertifikat terbit 2004 sedangkan aturan itu 2016, jadi silahkan pahami,” dalihnya.
Meski demikian sebagai kuasa hukum, Ia kembali menegaskan jika tanah itu hak milik klain kami susuai sertifikat atas nama Ala Robin tersebut.
Sementara itu, Kepala Desa Senteluk, Fuad Abdur Rahman mengaku awalnya terkejut ketika sempadan pantai itu diklaim oleh oknum sebagai lahan miliknya sesuai sertifikat. Hal itupun sangat dikhawatirkan akan menjadi presiden buruk kedepan jika dimenangkan di pengadilan.
“Kami pemerintah desa sangat mengkhawatirkan kedepannya, karena jika dibiarkan terus seperti itu akan menjadi acuan oknum-oknum lain mengklaim sempandan pantai ditempat lain mulai dari Sekotong sampai Senggigi,” ungkapnya.
Dampaknya kata Fuad akan membuat tak ada lagi ruang publik dipantai. Disamping itu pasti akan menimbulkan gesekan sosial ditengah masyarakat dengan oknum yang mengklaim itu. Terutama para nelayan yang tetap mengunakan sempandan pantai untuk sandar perahu.
“Ini perlu menjadi perhatian khusus di kita pemerintah maupun instansi-instansi terkait seperti yang sekarang menangani persoalan ini, Pengadilan dan yang menerbitkan sertifikat BPN Lombok Barat,” imbuhnya.
Meski demikian Pemerintah Desa Senteluk tetap berusaha memberikan penjelasan kepada pengadilan jika area lahan yang di Sengeketakan masuk sempadan pantai. Sesuai dengan regulasi di pusat maupun di daerah jika lahan sempadan pantai milik negara.
“Dengan aturan dan regulasi Perda mapun Perbup Pesisir jelas itu masuk kategori sempandan pantai,” tegasnya.
Pihaknya juga cukup menyayangkan Pemkab Lobar yang dinilai minim keterlibatan dalam memperjuangkan permasalahan itu. Padahal diakuinya pihaknya sudah mengkoordinasikan permasalah ini.
“Ada dinas kelautan, ada kabag hukum, mari dong kita singkronkan ini kalau itu benar kenak batas aman pantai, dong buat plang patok biar semua masyarakat tahu,” tegasnya kembali.
Sebab jika berbicara Perpres sempadan pantai itu tidak bisa berlaku mundur kebijakanya, namun ada sebelumnya ada Perda maupun Perbup terkait aturan pesisir pantai.
“Kan itu bisa kita menjadikan acuan dan ada sebelumnya juga (regulasi),” pungkasnya. (win)