Teken MoU dengan NGO Asal Singapura, Sehari Butuh 6 Ton Sampah Organik
Masalah sampah merupakan masalah yang serius dan belum mampu tertangani pemerintah, termasuk di Kabupaten Lombok Tengah. Namun badan usaha milik desa (BUMDes) Sengkol, Kecamatan Pujut punya cara tersendiri mengatasi persoalan sampah dan menjadikan kepingan rupiah. Seperti apa? berikut catatan Radar Mandalika.
FENDI-LOMBOK TENGAH
MASALAH yang selalu diperbincangkan adalah persoalan sampah. Apalagi pemerintahan NTB di bawah kendali Zul- Rohmi sejak lama meluncurkan program Zero Waste untuk mengurangi jumlah sampah dengan berupaya mengolah sampah menjadi barang yang bernilai ekonomi. Respons dan upaya setiap pemerintah kabupaten sangatlah berbeda, terlebih adanya pandemic covid-19 menjadikan konsentarsi pemerintah menjadi terbagi.
Sejalan dengan program ini, Direktur BUMDes Mart Desa Sengkol Katia Abdul melakukan tindakan untuk mengolah sampah yang dihasilkan di desa dan sekitar kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika. Dia menceritakan, sejak adanya pandemic kegiatan usaha yang dijalankan Bumdes menjadi macet.
Namun dalam sebuah kunjungan pada tahun 2020 lalu, dirinya dikenalkan dengan sebuah non governmental arganization (NGO) asal Singapura yakni Feedwerkz di mana organisasi tersebut menawarkan kerjasama dengan Bumdes untuk pengolahan sampah organik dengan memanfaatkan teknologi biokonvers yang memanfaatkan black soldier fly (BSF) atau sering disebut lalat hitam untuk menghasilkan maggot.
“Kita ada kontrak kerjasama dengan Feedwerk selama 10 tahun, dan kita ditargetkan bisa mandiri setelah tiga bulan pembinaan,” ceritanya kepada Radar Mandalika, pekan lalu
Dengan kerjasama tersebut, NGO membangunkan Bumdes BSF sebagai sentar pengembangan Maggot, sedangkan lahan Bumdes dapat dari hibah Yayasan Nasrudin El Manik Desa Sengkol seluas 5 are.
Ceritanya, awal program tersebut terlaksana pada 20 Desember 2020 pihak NGO memberikan pelatihan full selama tiga bulan terhadap tenaga kerja Bumdes, mulai dari proses peneluran lalat hitam, pemberian pakan sampah, sampai pada maggot tersebut bisa dipanen.
Dia menjelaskan, dari proses penetasan telur hingga panen membutuhkan waktu sekitar 15 hari agar maggot siap dipanen. Dimana selama 1- 5 hari telur ditetaskan dan disiapkan media makan dari susu kadaluarsa dan serbuk kayu. Kemudian setelah itu diberikan pakan tambahan dari sampah organik yang sudah dicacah menggunakan mesin selama empat hari, setelah itu ditambhkan pakan untuk larva dari serbuk gerjagi selama tujuh hari, hingga dilakukan panen maggot. Sisa dari maggot yang tidak terjual diberikan media, sehingga bisa menetas menjadi lalat hitam, kemudian ditelurkan kembali menjadi bibit maggot.
“Kita jadikan lalat hitam, lalat ini bertelur kemudian mati, terus kita siklusnya berjalan seperti itu,” sambung Waste conversion unit BSF Sengkol, Irfan.
Demikian juga dengan limbah dari serbuk kayu dan sisa media pakan larva, langsung di olah menjadi pupuk kompos yang juga merupakan unit usaha Bumdes.
Saat ini, pihaknya masih mengembangkan maggot dengan jumlah yang jauh di bawah target yakni menggunakan 12 boks, setiap boks diisi dengan 10 ribu larva, dengan jumlah ini Bumdes sebutnya hanya mampu panen maggot 15 kilo per hari.
Dia menerangkan, target dari NGO untuk produksi maggot BSF Bumdes Sengkol sebanyak 3 ton per bulan, sehingga pihaknya disiapkan sebanyak 576 boks sebagai media. Dengan jumlah ini sebutnya, setidaknya membutuhkan 6 ton sampah organik perhari untuk memberikan pakan larva.
“Kendala kita disarana transpotasi pengangkut sampah dan pemilahan sampah itu, saat ini kita hanya memanfaatkan roda tiga, dan itu kita hanya bisa mengangkut sampah maksimal 2 kwintal sehari,” jelasnya.
Dia juga menjelaskan, pihaknya telah diwarning oleh NGO agar bisa mandiri pada Desember tahun 2021. Untuk bisa mandiri, Bumdes sangat membutuhkan peran serta pemerintah daerah melalui dinas terkait untuk bisa memfasilitasi BSF mengakomodir sampah hasil pasar di Lombok Tengah dan produk kadaluarsa yang ada di ritel- ritel.
“Saat ini kita memperoleh produk kadaluarsa seperti susu dan roti dari Mataram, itu membutuhkan biaya, padahal di sini banyak ritel modern tapi kita belum bisa masuk,” keluhnya.
Dia berharap agar pemerintah daerah bisa turun tangan, memfasilitasi kebutuhan Bumdes, mengingat pengolahan sampah menjadi maggot yang dikembangkan Bumdes Sengkol merupakan trobosan satu- satunya yang ada di Kabupaten Lombok Tengah.(*)