DOK/RADARMANDALIKA.ID DIPERBAIKI: Salah satu ruas jalan provinsi NTB di wilayah taman wisata alam (TWA) Gunung Tunak, Pujut yang mengalami kerusakan tahun 2020 lalu.

MATARAM – Langkah Pemprov NTB melakukan pinjaman atau angkat utang kepada pemerintah pusat melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 750 miliar, masih dipersoalkan banyak pihak sampai detik ini.
Bahkan malam ini (tadi malam, red) komunitas Milienial Bintang Sembilan Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menggelar diskusi dengan mengangkat tema soal angkat utang pemprov.

“Debat bisa soal positioning hutang. Langkah antisipasi. Apakah tepat sasaran, transparan dan aspek pengawasannya seperti apa?” sebut Founder Komunitas Milenial Bintang Sembilan, Akhdiansyah.

Pria yang juga anggota Komisi V DPRD NTB itu mengatakan, kendati sudah tanda tangan Mou kedua belah pihak, namun tidak menutup kemungkinan lewat jalur politik bisa digugat. Atau bisa juga dilihat fungsi pngawasan dan akuntabilitasnya.
“Kalau ditolak (publik) ada peluang pembatalan itu tergantung opini dan cara pandang semua pihak,” katanya.

DPRD NTB melalui Badan Anggaran (Banggar) bisa mempertanyakan penganggaran pembayaran hutang melalui APB-P. Sebab, DPRD tdak diajak bicara secara kelembagaan.

Yongki menegaskan, lembaga DPRD belum satu suara. Dari rencana alokasinya dimana Rp 250 M itu untuk infrastruktur jalan maka ini menjadi ranah teknis Komisi IV. Lalu anggaran sebanyak Rp 500 miliar yang akan dipergunakan untuk pengembangan RSUP Provinsi NTB masuk dalam ranah teknis Komisi V.
“Secara tehnis harusnya disempurnkan oleh lembaga-lembaga teknis itu. Banggar juga harus mendengarkan itu baru kebijakan anggaran dibahas di Banggar. Pentingkah, bisakah, atau mendesak kah hutang hutang terbatas?” tanyanya lagi.

Menurut Yongki, sebetulnya tidak hanya urusan Banggar tetapi semua anggota DPRD NTB harus mengetahui soal hutang itu.
“Jangan sampai hak budgeting dan kontroling dibajak oleh orang-orang lain,” katanya.

Politisi PKB itu menegaskan, utang itu menjadi tanggungjawab semua masyarakat NTB. Utang itu harus dibayar sesuai kesepakatan.
“Kita belum dapat bentuk MOU-nya. DPRD secara kelembagaan belum dapat penjelasan. Apalagi saya di komisi V leading sector RSUD Provinsi juga belum dapat,” paparnya.

Kendati dalam ketentuan tidak memerlukan persetujuan dewan. Tapi harusnya Pemprov memberikan kejelasan kepada legislatif. Utang tersebut menjadi utang seluruh warga NTB. Pembayarannya melalui APBD yang mana pembayarannya juga pasti melalui pembahasan wakil rakyat.
“Kita lihat nanti. DPRD akan menggunakana kewenangannya, sesuai fungsi budget, control dan regulasinya. Tentunya kepentingan masyarakat NTB,” tegasnya.

Sementara itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB meminta Pemprov terbuka dalam hal utang itu. Terutama pada saat pelaksanaannya nanti baik untuk alokasi infrastruktur dan RS.
“Karena sudah MoU, kita minta Pemprov untuk terbuka,” tegas Sekjen FITRA NTB, Ramli Ernanda kepada Radar Mandalika.

Pemprov juga perlu menjelaskan bagaimana mekanisme pembayaran utang jangka pendek senilai Rp 225 miliar yang harus dibayar tahun ini ke penyedia barang dan jasa atau rekanan yang memenangkan tender proyek infrastruktur jalan tahun jamak itu.

Ramli menegaskan, Pemprov perlu mengantisipasi risiko fiskal yang timbul. Seperti kontraksi ruang fiskal dan diskresi Pemprov mengatur kebijakan belanja prioritas.
“Karena kami menilai Pemprov punya PR dari janji politik Gubernur-Wagub yang belum tercapai yang harus dibiayai,” sebut dia.

Beban utang ini dampaknya pada makin terbatasnya dana pembangunan untuk biayai program unggulan yang lain. Misalnya, NTB hijau dan asri bagian dari program unggulan Pemprov yang capaiannya masih rendah. Belum lagi program industrialisasi sektor pertanian, dan lainnya. Sementara Indeks kemandirian keuangan daerah di RPJMD ditargetkan 0,3. Pihaknya menilai dengan beban utang ini tentu janji janji politik itu tidak akan bisa tercapai.

“Kita harus ingat, ada kewajiban tahunan yang harus dibayar. Kecuali PAD bisa ditingkatkn signifikan. Tapi situasi pandemi akan menyulitkan,” yakin dia.

“Ke depan ruang gerak ngatur keuangan akan terbatas,” tambahnya.

Ramli mengatakan, sebetulnya dari sisi kemampuan Pemprov membayar sebenarnya tidak ada masalah. “Tapi kami lihat risiko jebakan utang ini pada diskresi fiskal daerah. Konsen kami di situ,” pungkas dia.(jho)

50% LikesVS
50% Dislikes
Post Views : 434

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *