Ada yang bikin hati terasa miris di Sumbawa. Polisi memanggil tujuh media hanya karena sebuah berita. Padahal berita itu, kata PWI NTB, sudah sesuai dengan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Ahmad Ikliludin, Ketua PWI NTB, menyebut pemanggilan itu bukan sekadar klarifikasi. Lebih dari itu, bisa menjadi alat pembungkaman. Pers yang mestinya jadi mata rakyat, jangan dipaksa merem. Jangan sampai pena wartawan diganti borgol.
“Wartawan yang bekerja berdasarkan fakta, dilindungi UU Pers. Itu bukan kata saya, tapi amanat konstitusi,” ujar Iklil.
Ia mengingatkan, kalau ada yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, jalan keluarnya jelas: hak jawab, hak koreksi, atau adukan ke Dewan Pers. Bukan dengan laporan pidana yang membuat jurnalis seperti maling yang harus dipanggil polisi.
Di atas kertas, ada kesepakatan antara Dewan Pers dan Polri, ditandatangani tahun 2017. Isinya jelas: kalau ada sengketa pemberitaan, arahnya ke Dewan Pers dulu. Bukan langsung ke ruang penyidikan.
Tapi kertas seringkali kalah oleh kuasa. Itulah yang kini diprotes PWI NTB. Mereka mendesak Polres Sumbawa mencabut surat panggilan itu. Karena panggilan semacam ini bukan sekadar panggilan, tapi pukulan bagi kebebasan pers.
“Pers bisa salah. Tapi salahnya pers bukan tindak pidana. Salahnya pers ada mekanismenya. Jangan dicampuradukkan,” tegas Iklil.
Ia juga mengimbau jurnalis tetap berpegang pada UU Pers dan Kode Etik. Karena pada akhirnya, benteng kita bukan kekuasaan, tapi ketaatan pada kebenaran.
Kalau pers dibungkam, rakyat kehilangan suara. Kalau wartawan dipanggil seperti maling, rakyat kehilangan mata. Maka membela pers bukan soal profesi, tapi soal menjaga agar bangsa ini tidak buta dan tidak bisu. (**)