Sore itu, Mataram bukan sekadar kota. Ia jadi saksi. Ada pertemuan yang tak cuma bicara jabatan dan program kerja. Ada kopi, ada tawa yang menahan letih, dan ada harapan yang menggantung di antara gelas-gelas yang nyaris kosong.

Tuwa Kawa Coffee — bukan gedung mewah, bukan ruang rapat elite, tapi di situlah pengurus baru PWI NTB 2025–2030 menggelar rapat perdana. Di bawah langit yang belum sepenuhnya gelap, mereka berbicara tentang hal yang sering dilupakan: kekeluargaan.

Ahmad Ikliludin, yang kini dipercaya menjadi ketua, tak menggertak dengan program-program ambisius. Ia tak memamerkan rencana 100 hari kerja. Ia justru bicara hal yang lebih mahal: rasa aman, kenyamanan, dan rumah. Katanya, PWI harus jadi tempat yang teduh. Bukan cuma bagi wartawan yang idealis, tapi juga untuk yang mulai lelah dan nyaris menyerah.

Fahrul Mustofa, sang sekretaris, menyambung asa dengan hal-hal teknis yang kerap dianggap sepele: berkas, kelengkapan organisasi, hingga sekretariat. Tapi di balik kata “dua hari ke depan” dan “pekan depan kabar baik”, sesungguhnya ada semangat untuk mempercepat langkah — agar tak ada lagi yang merasa organisasi ini lambat menyapa.

M. Sukri Aruman, yang pegang urusan pendidikan dan budaya, menyinggung soal “kartu biru muda”. Kecil memang, tapi itu simbol status. Ia mengajak agar para anggota naik kelas — bukan sekadar administratif, tapi juga secara martabat. Wartawan itu tak cukup bisa menulis, ia harus pantas diakui oleh sistem yang dibuatnya sendiri.

Dan tibalah giliran suara yang agak berbeda. Ketua DKD PWI NTB, H. Abdus Syukur — tak hanya bicara tugas, tapi juga ruh. Menegakkan etik, menjaga nama baik organisasi, dan mengikuti aturan terutama dalam menyusun kepengurusan.

Ia tak ingin DKD jadi palu pemukul. Tapi jadi pelita. DKD tak cuma hadir saat ada kasus. Tapi juga saat seseorang merasa bingung dengan etika, atau merasa tersesat di antara klik, algoritma, dan pesanan iklan yang makin menggoda iman jurnalistik.

Begitulah PWI sore itu. Tidak revolusioner. Tidak gemuruh. Tapi ada yang lebih penting dari itu: kebersamaan yang tidak dibuat-buat. Jika ini bisa terus dijaga, maka organisasi ini tak cuma hidup, tapi menghidupkan.

Dan seperti kata Cak Nun, kadang kita tak butuh rumah besar dengan pilar marmer. Kita hanya butuh tempat kembali. Tempat yang mengingatkan bahwa wartawan bukan cuma pekerjaan, tapi jalan hidup. Dan PWI, sore itu, sedang merintis jalannya kembali menjadi rumah. (red)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *