Kalau Mataram sibuk menyiapkan upacara bendera 17 Agustus dengan barisan yang rapi dan pasukan yang tegap—di sebuah desa kecil di Lombok Tengah, kemerdekaan justru dirayakan dengan… kail.
Bukan kail politik. Tapi kail pancing.
Sabtu, 16 Agustus 2025. Embung Eat Berobot yang selama ini cuma dikenal warga lokal, bakal ramai. Bukan karena viral di TikTok. Tapi karena empat komponen yang biasanya jalan sendiri-sendiri, kali ini duduk bareng, menyatukan ide, dan sepakat: mari kita rayakan kemerdekaan dengan cara yang membahagiakan rakyat.
FSKR—Forum Silaturrahmi Keluarga Ranggagata—berkolaborasi dengan SMSI NTB, media gatanews.id, dan Pemerintah Desa. Empat elemen itu bukan sekadar menyelenggarakan lomba mancing. Tapi sedang merancang panggung bagi harapan dan persatuan.
“Merdeka itu bukan cuma soal pidato. Tapi bagaimana kita saling rangkul,” kata H. Maskur, Ketua FSKR, yang lebih banyak tersenyum daripada berbicara panjang lebar.
Pesan yang sederhana. Tapi dalam.
FSKR memang unik. Isinya para perantau dari Ranggagata yang tidak ingin kampungnya tertinggal. Mereka mungkin hidup di luar desa, tapi hatinya masih menggantung di pohon mangga halaman rumah.
SMSI NTB juga bukan sekadar organisasi media. Mereka membawa kekuatan informasi. Mengajak masyarakat melihat bahwa embung Eat itu bisa jadi destinasi. Bahwa lomba mancing bisa jadi promosi desa. Bahwa berita baik itu masih ada.
“Sekali merdeka, tetap merdeka. Termasuk dari berita negatif yang tiap hari menguasai lini masa kita,” celetuk Ketua SMSI, Abdus Syukur, sambil melihat panitia sibuk mengatur doorprize.
Tak main-main, target peserta 700 orang. Gratis. Tak ada tiket. Tak ada pungutan. Hanya perlu satu hal: semangat.
Semangat memancing ikan. Tapi juga memancing kenangan. Memancing kawan lama. Memancing senyum anak-anak. Bahkan memancing harapan bahwa desa pun bisa bersinar di peta nasional.
Maka lomba ini bukan hanya soal siapa dapat ikan terbesar. Tapi siapa yang pulang membawa cerita paling membahagiakan.
Ada yang bawa kail. Ada yang bawa kopi. Tapi semua bawa cinta pada kampung sendiri. Dan mungkin, itu makna kemerdekaan yang paling murni.
Ranggagata memang bukan Mataram. Tapi di sanalah, kemerdekaan kembali menemukan maknanya—di antara kail, embung eat, dan tawa warga yang tak ingin kalah oleh sepinya desa. (red)