Oleh: Abdus Syukur*

Menjadi Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di kabupaten atau kota, bukan perkara mudah.
Bukan pula sekadar urusan siapa yang paling populer atau paling banyak dukungan.

Ini tentang tanggung jawab moral.
Tentang menjaga marwah profesi.
Dan tentang bagaimana organisasi ini tetap hidup di tengah gelombang perubahan media yang begitu cepat.

Lebih dari Sekadar Kartu Anggota

KTA PWI memang jadi syarat utama.
Tapi selembar kartu itu tidak cukup.

Yang penting bukan kartu, tapi semangat di baliknya.
Masih aktif menulis, masih turun liputan, dan masih berani bertanya demi kebenaran.

Karena PWI tidak butuh ketua yang sekadar punya nama di daftar anggota,
tapi yang benar-benar hidup dari pena dan nurani.

UKW Sebagai Cermin Diri

Syarat berikutnya: calon ketua harus sudah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) minimal tingkat Madya.

Bukan untuk membatasi, tapi untuk memastikan bahwa pemimpinnya punya kapasitas profesional.
UKW itu bukan sekadar sertifikat — tapi ukuran bahwa seorang wartawan paham etika, tahu batas antara fakta dan opini,
dan menulis bukan untuk kepentingan pribadi.

Masih Wartawan, Bukan Mantan Wartawan

PWI tidak bisa dipimpin oleh orang yang sudah meninggalkan dunia jurnalistik.
Karena organisasi ini butuh figur yang masih peka terhadap denyut lapangan,
masih paham bagaimana rasanya dikejar deadline, dan tahu arti “verifikasi” bukan hanya di media sosial, tapi di lapangan.

Berpengalaman Mengurus, Pernah Susah

Syarat lain yang sering dilupakan: calon ketua sebaiknya pernah menjadi pengurus, minimal satu periode.
Supaya tahu bagaimana sulitnya menjaga organisasi tetap berjalan dengan segala keterbatasan.
Supaya paham bagaimana membina wartawan muda, bukan sekadar memerintah. Karena yang pernah susah mengurus PWI, akan lebih bijak ketika memimpin.

Bersih dari Politik, Jauh dari Kepentingan

Ketua PWI tidak boleh menjadi pengurus partai, tidak boleh menjadi pejabat publik,
dan tidak boleh menjadi alat kepentingan politik manapun.

PWI harus netral, berdiri di atas semua golongan. Kalau organisasi ini terseret arus politik, maka habislah kepercayaan publik pada profesi wartawan. Integritas adalah modal utama. Tanpa itu, jabatan hanya tinggal nama.

Dukungan yang Tulus, Bukan Formalitas

Calon ketua harus mendapat dukungan dari anggota biasa. Tapi yang dimaksud dukungan bukan sekadar tanda tangan formalitas. Dukungan itu lahir dari kepercayaan.
Dari keyakinan bahwa calon yang mereka pilih benar-benar layak menjadi pemimpin.

Janji di Atas Pakta Integritas

Setiap calon ketua wajib menandatangani Pakta Integritas.
Bukan sekadar tanda tangan di kertas,
tapi pernyataan kesanggupan menjaga nama baik organisasi, menegakkan kode etik jurnalistik,
dan tidak memperjualbelikan PWI untuk kepentingan pribadi.

Tiga Tahun Mengabdi

Masa jabatan Ketua PWI Kabupaten/Kota adalah tiga tahun. Bisa maju lagi satu kali periode, kalau masih dipercaya dan masih punya semangat untuk mengabdi.

Karena menjadi ketua PWI bukan soal kedudukan, tapi tentang siapa yang paling siap bekerja — bukan paling keras bicara.

Menjadi Ketua PWI adalah tanggung jawab besar. Tugasnya bukan hanya memimpin wartawan, tetapi menumbuhkan semangat solidaritas dan profesionalisme di tengah arus digital yang kian keras.

Karena sejatinya, wartawan tidak hidup dari jabatan. Wartawan hidup dari kepercayaan. Dan kepercayaan itu hanya tumbuh dari integritas.

*Asesor UKW

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *