Oleh: Abdus Syukur*

Saya bergabung dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan karena ingin disebut wartawan profesional, bukan pula demi pengakuan. Saya bergabung karena saya percaya: wartawan bukan sekadar pencatat peristiwa, tetapi penjaga nurani publik dan penjaga peradaban kata.

PWI bagi saya bukan hanya organisasi, melainkan sebuah rumah moral dan intelektual. Di sinilah saya belajar kembali arti menjadi wartawan yang utuh — wartawan yang tidak hanya menguasai teknik menulis, tetapi juga memahami etika, keadilan, dan kemanusiaan.

Dalam rumah bernama PWI ini, saya menemukan pegangan hidup profesi yang kokoh: Kode Etik Jurnalistik.

Kami diajarkan untuk independen dan jujur, untuk mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok, serta tidak menyalahgunakan profesi demi keuntungan tertentu.

Kami diajarkan bahwa setiap berita adalah amanah. Setiap kata yang kami tulis bisa menenangkan, tapi juga bisa melukai. Karena itu, kebenaran harus selalu ditempatkan di atas segalanya.

Di tengah arus deras digitalisasi media, PWI hadir sebagai penjaga keseimbangan.

Ketika banyak orang lebih mengejar kecepatan dan sensasi, PWI menuntun kami untuk tetap berpijak pada akurasi, etika, dan tanggung jawab sosial.

Melalui Uji Kompetensi Wartawan (UKW), PWI menegaskan kembali bahwa menjadi wartawan bukan sekadar bisa menulis berita, tetapi harus mengerti hukum, memahami kode etik, dan menghormati hak publik atas informasi yang benar.

PWI juga memberi ruang besar untuk edukasi dan pengembangan diri.

Pelatihan jurnalistik, diskusi lintas daerah, hingga forum literasi media yang digelar di seluruh Indonesia, membuat PWI tidak hanya menjadi organisasi profesi, tetapi juga sekolah kehidupan.

Di sana saya belajar arti kerja kolaboratif, saling menghargai antarwartawan, serta memperjuangkan kemerdekaan pers yang sehat dan berimbang.

Selain menjadi wadah pembinaan, PWI juga berfungsi sebagai tameng dan pelindung wartawan.

Ketika ada anggota yang mengalami intimidasi atau kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik, PWI selalu hadir — tidak hanya memberi dukungan moral, tapi juga pendampingan hukum.

PWI berdiri di garis depan, memastikan bahwa pekerjaan jurnalistik tidak dikriminalisasi, dan kemerdekaan pers tetap dijaga sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Saya juga belajar bahwa kekuatan PWI terletak pada jaringannya yang luas.

Dari Sabang sampai Merauke, dari kota besar sampai pelosok desa, ada semangat yang sama: menjaga marwah profesi.

Kami mungkin berbeda media, berbeda pandangan, tapi kami disatukan oleh satu nilai: kebenaran.

Menjadi anggota PWI bagi saya adalah perjalanan batin — bukan sekadar administrasi keanggotaan.

Ia adalah bentuk tanggung jawab, bahwa di tengah gelombang informasi yang menyesatkan, masih ada yang berani berdiri tegak membawa cahaya kebenaran.

Saya tahu, PWI tidak sempurna. Tetapi saya percaya, kesetiaan pada nilai-nilai etik membuat organisasi ini terus relevan dan dihormati.

Selama wartawan masih menulis dengan hati dan nurani, selama PWI masih menjadi rumah bersama, maka pers Indonesia akan tetap hidup — jujur, kritis, dan bermartabat.

Karena pada akhirnya, menjadi anggota PWI berarti menjadi bagian dari perjuangan panjang untuk menjaga kebenaran dan menjaga bangsa ini tetap waras.

*Pemimpin Umum Radar Mandalika

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *