Oleh Lalu Pahrurrozi, Chairul Mahsul dan Adhar Hakim
(Eks Tim Transisi Gubernur NTB)

Publik tengah dibuat hiruk pikuk terkait kabar “penggunaan” (lebih tepatnya “pergeseran”) dana BTT (Belanja Tidak Terduga) pada APBD 2025. Ada pendapat beragam yang muncul baik dari wakil rakyat maupun pengamat.

Hal pertama yang ingin kami sampaikan, sesungguhnya pergeseran APBD bukan hanya terjadi di Provinsi NTB saja. Pergeseran APBD itu dilakukan oleh hampir semua pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Kami memandang segala macam kritik dan masukan terkait dengan BTT sebagai sebuah jalan konstruktif. Soal pro dan kontra, tentu itu menjadi hal yang lumrah.

Pemerintah Provinsi NTB telah menetapkan Pergub No 2/2025 terkait Pergeseran Pertama APBD NTB 2025, juga Pergub No 6/2025 terkait Pergeseran Kedua APBD NTB 2025. Kedua dokumen tersebut adalah dokumen terbuka, yang bisa didownload dan diakses secara mudah.

Jadi, jika ada yang bertanya, kemana saja alokasi setiap anggaran bergeser? Dengan mudah dijawab, silahkan membuka dokumen Pergub tersebut, dokumen tersebut akan tersaji dalam dua kolom, sebelum dan sesudah. Jadi, setiap orang yang membaca dokumen itu, dengan mudah membaca alokasi baru setiap kode rekening belanja, program dan kegiatan, sebelum pergeseran dan sesudah pergeseran.

Ada beberapa opini yang dikutip oleh media dari beberapa politisi, akademisi, atau aktivis yang kurang tepat terkait dengan “penggunaan” dana BTT pada Pergeseran 1 atau Pergeseran 2, APBD NTB 2025. Misalnya ada yang menyebutkan, perihal “penggunaan” BTT yang sangat besar mencapai Rp484 miliar lebih, sehingga alokasi dana BTT tersisa Rp16,4 miliar. Ada juga akademisi yang mempertanyakan “penggunaan” BTT oleh Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal, seolah ada imajinasi gubernur menggunakan diskresinya, dan perkara itu bisa dipersoalkan secara hukum.

Kami sengaja memberikan tanda kutip pada kata “penggunaan”, karena kata ini telah salah diartikan, telah salah difahami, telah salah ditafsirkan, berkali-kali. Tentu untuk memahami kata “penggunaan” tidak cukup bermodalkan kbbi online, karena yang sedang dibahas adalah “penggunaan” dana BTT, maka kata ini mesti diletakkan sebagai salah satu istilah akuntansi pemerintahan.

Empat Siklus APBD

Paling tidak, ada empat tahapan atau siklus APBD yang terus berulang pada setiap tahun anggaran yaitu perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pelaporan. Jenis dokumen setiap siklus atau tahapan tentu berbeda. Misalnya, dokumen perencanaan seperti dokumen RPJMD, RKPD, Renstra dan Renja.

Contoh dokumen penganggaran yaitu KUA PPAS, Perda APBD, Perkada Penjabaran APBD (juga Pergeseran APBD) dan DPA atau DPPA. Dokumen pelaksanaan yaitu SPD, SPP, SPM hingga SP2D. Dokumen pelaporan berupa laporan realisasi anggaran, laporan arus, neraca dan catatan atas laporan keuangan.

Nah, kata “penggunaan” BTT adalah kata yang lebih tepat dipadankan dengan realisasi BTT, yang berarti alokasi dana tersebut telah digunakan oleh pemerintah. Bagaimana membuktikan bahwa dana tersebut telah digunakan? Penggunaan itu berwujud adanya aliran kas (uang) yang mesti dibayarkan akibat penggunaan itu dengan bukti-bukti dokumen seperti SPP, SPM dan SP2D.

Apakah Dana BTT Telah Digunakan?

Apakah alokasi dana BTT pada APBD 2025 telah “digunakan”, telah “dicairkan”, atau telah “direalisasikan”? Iya, dana BTT telah digunakan sebesar Rp2,4 Miliar sebagaimana diakui oleh Kepala BPKAD, atau menurut dokumen KUPA APBD 2025 sebesar Rp40 juta (karena jumlah lainnya belum diupdate). Dan penggunaan Rp2,4 Miliar sejauh ini tunduk, patuh dan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 68 dan Pasal 69 dalam PP 12/2019.

Apakah ada “penggunaan” dana BTT sebesar Rp484 miliar pada Pergeseran 1 atau Pergeseran 2 APBD 2025? Tidak ada. Mengapa? Dokumen Pergub bukanlah dokumen penggunaan atau realisasi belanja. Dokumen Pergub APBD adalah dokumen yang mengatur postur alokasi APBD, baik pendapatan ataupun belanja daerah, dengan klasifikasi berdasarkan kode rekening maupun kode perangkat daerah. Untuk diketahui publik, kode rekening antara BTT berbeda dengan program yang masuk di pergeseran I maupun pergeseran II.

Jadi sebenarnya, dokumen Pergub itu bukanlah menunjukkan penggunaan BTT, tapi yang terjadi adalah pemindahan alokasi BTT ke pos belanja lainnya, antara lain dana transfer DBH ke kabupaten-kota, pembayaran utang BPJS, pembayaran bonus atlet PON, pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi, RTLH (rumah tidak layak huni), hibah KORMI untuk Fornas, peningkatan Rumah Sakit dari Tipe C ke Tipe B, kekurangan TPP ASN Pemprov NTB, dan program strategis lainnya.

Hakikat Belanja BTT

BTT (Belanja Tidak Terduga) disimpan dengan kode rekening 5.3.1. Selain BTT ada juga jenis belanja lainnya seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal tanah, belanja hibah, belanja bansos, dan yang lainnya. Ada sejumlah kekhususan dan pemeringkatan, saat kita menyebut kelompok, jenis, objek atau rincian objek terkait dengan belanja-belanja pada APBD. Kekhususan dan pemeringkatan ini semacam “bahasa akuntansi” tersendiri, yang memerlukan pencermatan, agar tidak salah kaprah atau salah paham.

Adapun filosofi keberadaan akun rekening BTT, diperuntukkan sebagai belanja untuk aktivitas yang tidak biasa, tidak berulang dan tidak diprediksi. Karena filosofinya yang semacam itu, maka alokasi dalam BTT lazimnya proporsinya kecil terhadap belanja daerah. Pada APBD NTB 2025, pagu alokasi BTT sebesar Rp500,97 miliar atau setara 8,03 persen dari total belanja daerah, padahal biasanya pagu alokasi BTT kurang dari 5 persen dari total belanja daerah.

Mari kita bandingkan alokasi belanja BTT di daerah lain dengan NTB. Misalnya, untuk Provinsi DKI yang yang langganan banjir, pada APBD 2025 menganggarkan Rp2,168 triliun atau setara 2,62 persen dari total belanja. Provinsi Jawa Timur mengalokasikan 357 Miliar atau setara 1,18 persen dari total belanja.
Bagaimana dengan alokasi BTT di Prov NTB pada masa lampau? Alokasi BTT pada APBD NTB 2018 saat gempa Rp8,35 miliar atau setara 0,16 persen dari total belanja daerah. Pada APBD NTB 2021, saat covid pun, dana BTT dianggarkan Rp44,6 miliar atau setara 0,79 persen dari total belanja daerah.

Mengapa alokasi BTT itu kecil? Karena filosofi akun rekeningnya, alokasi BTT untuk menampung belanja ini untuk aktivitas yang tidak biasa, tidak berulang dan tidak diprediksi. Sedangkan prinsip dasar dalam penyusunan anggaran seperti yang diamanahkan oleh UU 1 Tahun 2004 mesti mengacu pada asas spesialitas, dimana setiap alokasi anggaran harus jelas dan terinci peruntukannya.

Mengapa Alokasi BTT Pada APBD NTB 2025 Besar?
APBD NTB Tahun Anggaran 2025 ditetapkan dalam sidang paripurna DPRD pada hari Rabu, 21 Agustus 2024. Pada saat itu, ditetapkan alokasi dana BTT yang disepakati berjumlah Rp5,7 miliar. Selanjutnya pada 30 November 2024 terbitlah Perpres Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2025, juga terbit SK Hasil Evaluasi Mendagri terhadap RAPBD 2025 pada tanggal 9 Desember 2024. Dalam dokumen tersebut terdapat tambahan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp496.970.000.000 .

Penambahan pendapatan dari DBH tersebut berkonsekuensi pada penambahan belanja (karena penerimaan dan pengeluaran harus seimbang). Maka kebijakan anggaran yang diputuskan oleh TAPD dan Banggar DPRD pada waktu itu, yaitu tambahan pendapatan tersebutkan dialokasikan dalam rekening BTT. Mengapa? Mengingat jika dialokasikan dalam belanja pegawai, belanja barang jasa, belanja modal atau jenis belanja lain maka akan terjadi penyesuaian ulang dan perubahan postur yang signifikan dan membutuhkan waktu untuk pembahasan ulang.

Jadi, mengapa BTT pada Tahun Anggaran 2025 besar? Hal ini disebabkan karena pagu pendapatan yang bersumber dari Dana Transfer Kepada Daerah masih merujuk kepada pagu awal APBD 2024 pada Agustus 2024. Dimana, pada saat Perda APBD diketuk, besaran alokasi dana transfer kepada daerah 2025 belum ditetapkan pusat. Setelah regulasi TKDD (termasuk DBH) keluar, ternyata alokasi TKDD untuk NTB bertambah lebih kurang Rp497 miliar.
Banggar Legislatif dan TAPD waktu itu bersepakat bahwa pada Tahun 2025 akan dilakukan realokasi pada BTT tersebut untuk memenuhi dua hal : Belanja prioritas yang belum teralokasi pada APBD 2025, belanja yang mendukung program nasional dan belanja implementasi visi-misi kepala daerah baru.

Jadi, akun BTT bukanlah rekening penampungan, karena secara fisik uangnya belum terealisasi ke Kas Daerah. Ini sekaligus jawaban kepada beberapa pihak yang bertanya, mengapa dana masuk dari DBH (TKDD) tidak dihitung menjadi SILPA? Karena SILPA itu hakekatnya uang yang ada di kas pada tahun berkenaan yang dibawa ke tahun anggaran berikutnya.

Perintah Pemerintah Pusat

Pada awal tahun anggaran 2025, keluarlah Inpres 1/2025 dan SE Mendagri 900/2025 yang memerintahkan untuk melakukan efisiensi dan realokasi anggaran pada isu-isu strategis pembangunan. Untuk melaksanakan inpres ini, secara teknis, hanya tersedia 2 skema, yaitu pergeseran APBD melalui Perkada, dan perubahan APBD melalui Perda APBD.

Pergeseran APBD NTB diatur dalam Pasal 163-164 PP 19/2019. Dalam PP ini, kata pergeseran disebutkan sebanyak 9 kali, dan hanya dibahas pada Bab VII terkait laporan realisasi semester dan Perubahan APBD. “Titulus est lex, rubrica est lex” ungkap para ilmuwan hukum. Dengan struktur pembahasan pergeseran dalam bab VII, maka pergeseran difahami sebagai tindakan dalam perubahan postur pagu alokasi pendapatan atau belanja. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa pergeseran APBD dapat dilakukan sebelum perubahan atau setelah perubahan APBD, dengan memastikan, semua pergeseran ditampung dalam perubahan APBD, atau jika tidak ada perubahan APBD, ditampung pada laporan realisasi anggaran APBD pada akhir tahun anggaran.

Pemerintah Provinsi menindaklanjuti Inpres dan SE Mendagri tersebut dengan skema pergeseran APBD untuk melaksanakan mandat pemerintah pusat dengan mengalokasikan belanja prioritas yang belum teralokasi pada APBD 2025, belanja yang mendukung program nasional dan belanja implementasi visi-misi kepala daerah baru.
Pemerintah Provinsi NTB secara cermat menelusuri belanja seremonial, belanja perjalanan dinas, serta belanja pendukung lainnya yang tidak memilki output yang terukur.

Selanjutnya Pemprov mengalokasikan belanja tersebut untuk belanja prioritas yang belum teralokasi pada APBD 2025, belanja yang mendukung program nasional dan belanja implementasi visi-misi kepala daerah baru. Alokasi belanja baru tersebut dialihkan dalam 7 tema yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan sanitasi, optimalisasi penanganan inflasi, stabilitas harga makanan-minuman, penyediaan cadangan pangan dan prioritas lainnya yang mendorong peningkatan kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *