Di era digital yang serba cepat, media sosial kini menjadi alat komunikasi utama bagi instansi pemerintah. Cepat, murah, dan langsung menjangkau publik. Akun resmi pemerintah ramai membagikan program, prestasi, hingga agenda kebijakan dalam format visual yang menarik dan narasi yang persuasif. Namun, di balik euforia ini, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana nasib media online?

Dulu, media online dielu-elukan sebagai penjaga gerbang informasi, penapis data, dan penyampai kebenaran. Tapi kini, panggung mereka mulai tergeser. Pemerintah tak lagi bergantung pada wartawan atau ruang redaksi untuk menyampaikan pesan. Cukup dengan admin muda yang paham algoritma dan konten medsos, informasi bisa viral dalam hitungan menit.

Padahal, media sosial bukan tanpa cela. Ia memang andal menyebar informasi, namun lemah dalam menyaring. Tidak ada proses verifikasi dua arah, tidak ada editor, tidak ada mekanisme cek silang. Sementara itu, media online bekerja dengan standar jurnalistik: menguji data, memberikan konteks, membuka ruang kritik, dan menyampaikan informasi yang utuh dan berimbang.

Sayangnya, publik kini lebih terpikat pada tampilan singkat daripada analisis mendalam. Artikel panjang kalah saing dengan infografik satu menit. Thread Twitter dan reels TikTok lebih ramai diklik ketimbang laporan investigatif yang membutuhkan waktu dan konsentrasi. Alhasil, media online menghadapi tantangan ganda: menjaga kualitas sembari mengejar atensi.

Meski demikian, media online tidak menyerah. Mereka ikut menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Instagram dijadikan etalase visual yang mengarahkan pembaca ke artikel lengkap. Twitter menjadi alat promosi untuk laporan eksklusif. YouTube disulap jadi panggung diskusi dan wawancara. Inilah simbiosis baru: media online menumpang arus medsos, tapi tetap membawa semangat jurnalistik agar tak hanyut dalam tren sesaat.

Transformasi digital adalah keniscayaan. Media online harus inovatif, adaptif, dan lentur. Dari penguatan visual, pengembangan langganan digital, hingga pembentukan komunitas pembaca—semua langkah harus ditempuh demi bertahan. Sebab dalam dunia yang dibanjiri informasi, media online punya peran penting sebagai jangkar kebenaran.

Medsos memang menggoda dengan kecepatan. Tapi media online tetap memikat dengan kedalaman. Pertarungan ini bukan soal siapa yang paling keras suaranya, tapi siapa yang paling jernih menyuarakan makna. Maka, meski pemerintah memilih jalur instan, media online tetap harus teguh menjaga prinsip jurnalisme yang berintegritas. (red/ai)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *