PWI itu organisasi wartawan. Wartawan itu tugasnya mengawasi pemerintah. Tapi kantornya? Banyak yang milik pemerintah.
Lucu, kan?
Tapi itulah realitas yang sudah berlangsung lama. Bahkan terlalu lama. Sejak zaman Orde Baru.
Dulu, semua harus dalam kendali. Termasuk wartawan. Maka pemerintah memberi gedung. Memberi tanah. Bahkan membangunkan kantornya pakai APBD. Lengkap dengan plang nama dan seragam upacara.
Waktu itu, tidak banyak yang berani bertanya: kenapa organisasi profesi yang seharusnya independen justru “numpang” di rumah kekuasaan?
Dan sampai hari ini, hampir semua kantor PWI di daerah—dari Sabang sampai Merauke—masih begitu. Hibah, pinjam pakai, atau bentuk kerja sama lain yang ujung-ujungnya membuat publik bertanya: masih independenkah PWI?
Tentu saja ada sisi positifnya.
Biaya operasional bisa ditekan. Tidak perlu keluar uang sewa. Lokasinya pun strategis—biasanya di pusat kota, dekat kantor bupati, gubernur, atau DPRD. Fasilitas lengkap, lahan parkir luas, toilet bersih. Bahkan kadang-kadang ada petugas kebersihan dari pemda yang rajin menyapu halaman.
Pemerintah pun tampak “bersahabat” dengan insan pers. Seolah berkata: ini bentuk dukungan kami terhadap kebebasan pers.
Tapi…
Apa kabar independensi?
Sulit membayangkan PWI bisa bersikap keras ketika harus mengkritik pemda yang sama—yang memberikan mereka gedung dan listrik gratis. Sulit pula menjaga jarak ketika wartawan ingin menulis tajam, tapi kantornya berada dalam radius cctv kantor wali kota.
Apalagi jika pengurus PWI-nya terlalu akrab. Makan siang bersama. Main golf bareng. Naik pesawat satu barisan saat kunjungan luar daerah. Maka batas profesional itu bisa kabur. Tipis. Nyaris tidak kelihatan.
Risikonya? Ketika publik mulai melihat PWI bukan lagi sebagai mitra kritis, tapi sebagai “organisasi semi-pemerintah”.
Berbeda dengan AJI.
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) lebih memilih menyewa kantor sendiri. Sempit? Iya. Kadang di ruko dua lantai atau di gang sempit yang susah parkir. Tapi itu harga yang harus dibayar untuk menjaga jarak dari kekuasaan. Demi bisa bicara lantang tanpa beban.
Jadi, bagaimana sebaiknya?
PWI tidak harus serta-merta pindah dari kantor yang sekarang. Tapi perlu ada garis batas yang jelas: secara kelembagaan, secara editorial, dan secara etika. Pemerintah boleh bantu, tapi tidak boleh ikut campur.
Kalau perlu, perjanjian pinjam pakai dibuat transparan. Dipublikasikan. Supaya publik tahu: bantuan ini bukan untuk beli loyalitas.
Dan idealnya? Tentu saja, PWI punya kantor sendiri. Dari iuran anggota. Dari usaha mandiri. Dari hasil pelatihan dan kerja sama profesional. Bukan dari belas kasih penguasa.
Akan lebih elegan. Lebih terhormat. Dan lebih jurnalis. (abdus syukur)