LOBAR—Sejumlah Kepala Lingkungan (Kaling) di Lombok Barat (Lobar) mengeluhkan kesenjangan anggaran antara desa dengan kelurahan. Keluhan itu dilontarkan saat hearing dengan Komisi I DPRD Lobar, Selasa (23/9). Pertemuan yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Lobar, Ahyar Rosyidi itu dihadiri beberapa anggota seperti H. Kamaruddin, H. Beni Basuki, Idris Putrawan serta H. Deni Asmawi. Para Kaling merasa dianaktirikan, bahkan mengalami diskriminasi yang nyata. Mereka membandingkan kondisi kelurahan dengan desa layaknya “langit dan bumi”. Sehingga menuntut keadilan anggaran yang setara.
“Kami dianak tirikan terkait anggaran ini. Kami minta penambahan, karena banyak sekali yang tidak kami dapat. Desa dapat DD, ADD, bahkan ada program pokir yang terus mengalir,” kata Kaling Dasan Geres Tengah Kelurahan Dasan Geres Kecamatan Gerung, M Subki saat menyampaikan aspirasi.
Pernyataan ini didukung oleh Kaling lain. Kelurahan dinilai telah lama diabaikan oleh Pemda. Selama 13 tahun menjadi kelurahan namun sentuhan dari pemerintah justru tidak ada. Tak hanya itu kelurahan begitu sulit memperoleh bantuan dari sektor swasta. Bahkan Suharman, Kaling Dodokan menyoroti keberadaan beberapa perusahaan besar di wilayahnya, seperti beberapa bank dan PDAM. Namun, upaya mereka untuk mendapatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) selalu menemui jalan buntu. “Beberapa kali memasukkan proposal tapi tidak dijawab. Jawabannya kami bukan hanya untuk masyarakat Dodokan dan Gerung saja,” keluhnya.
Bahkan untuk masalah infrastruktur yang mendesak, kelurahan seolah dibiarkan berjuang sendiri. Suharman menceritakan kasus sebuah bangunan milik warganya di bantaran sungai yang terancam roboh. “Kami sudah menghadap ke BWS, tapi dijawab tidak bisa membantu,” ungkapnya. Ini menjadi bukti bahwa tanpa anggaran yang memadai, kelurahan tak berdaya menghadapi masalah mendesak di lingkungan mereka.
Para Kaling memberikan perumpamaan yang menyentuh hati. Menurut mereka, kelurahan dan lingkungan seperti “anak bayi yang terlahir prematur”. Bayi prematur seharusnya mendapat perhatian lebih, namun kenyataannya justru sebaliknya. “Anggaran pembangunan lingkungan hanya Rp 200 juta untuk satu kelurahan,” kata salah seorang Kaling, menggambarkan betapa minimnya perhatian yang diberikan.
Sementara Camat Gerung Fitriati Wahyuni dalam pemaparannya, menyebutkan perbandingan yang mencolok antara desa dengan kelurahan. Sebab desa-desa di Kecamatan Gerung justru mengelola anggaran yang fantastis. “Desa di Gerung, contoh Babussalam, mereka kelola anggaran Rp 2 miliar lebih,” jelasnya.
Kondisi itu pun tak dibantah Sekretaris Bappeda Lobar, Yulinda Irmayani. Ia juga menyoroti tingginya angka kemiskinan ekstrem di Kecamatan Gerung. “Sangat ironi, ibu kota kabupaten dengan angka kemiskinan ekstrem yang begitu tinggi,” ujarnya seraya menambahkan bahwa meskipun berstatus ibu kota, Gerung masih menghadapi masalah mendasar yang belum tersentuh solusi.
Merespons aspirasi para Kaling, Yulinda menyatakan bahwa saat ini pemerintah sedang dalam tahap evaluasi RPJMD yang telah ditetapkan. Ia mengakui bahwa “misi besar” aspirasi para Kaling adalah untuk merubah wajah dan citra Kota Gerung. Pernyataan ini seolah menjadi pengakuan bahwa selama ini ada masalah fundamental yang belum terselesaikan.
Menanggapi keluhan tersebut, Sekretaris BPKAD Agus Wirawan Sastra mencoba memberikan penjelasan dari sisi regulasi. Ia memaparkan bahwa anggaran yang diterima desa tidak sepenuhnya dapat dikelola bebas. “Misal ada 1 desa dapat 1 miliar, yang bebas dia kelola hanya 100 desa, yang lainnya untuk mandatory dari pusat seperti pembayaran yang lain,” terangnya.
Ia juga menjelaskan bahwa BLT tidak bisa diberikan langsung ke kelurahan karena harus ada daftar nama yang sudah direncanakan sebelumnya. Namun, penjelasan ini tampaknya belum sepenuhnya menenangkan para Kaling yang merasa ketidakadilan tetap ada.
Sementara itu Ketua Komisi I DPRD Lobar Ahyar Rosyidi menyoroti isu lama terkait kesenjangan anggaran antara desa dan kelurahan. Perbedaan alokasi dana ini dinilai politisi PKS itu menciptakan ketimpangan signifikan dalam pembangunan wilayah. Komisi I mengambil langkah konkret dengan mendorong adanya kebijakan afirmatif bagi kelurahan. “Kami di Komisi I melihat bahwa kesenjangan anggaran antara desa dan kelurahan memang sudah lama terjadi,” ujarnya saat menanggapi hasil hearing Kaling itu.
Menurutnya desa memiliki Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari pemerintah pusat dan daerah, sementara kelurahan tidak. Hal ini menimbulkan ketimpangan dalam kemampuan membangun wilayah. Namun ia tak menampik hal itu disebabkan karena landasan hukum yang berbeda. Desa diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Memberikan otonomi dan sumber pendanaan langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebaliknya, kelurahan diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana kelurahan menjadi bagian wilayah administratif kota/kabupaten. Sehingga anggaran disatukan dengan pemerintah daerah. “Akibatnya, kelurahan tidak memiliki alokasi dana khusus seperti Dana Desa, sehingga sangat bergantung pada APBD yang sering kali terbatas. Keterbatasan ini menghambat program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di tingkat kelurahan,” jelasnya.
Meski demikian, Ahyar mengaku Komisi I mengambil beberapa langkah strategis yang akan menjadi agenda kerja ke depannya. Salah satunya mendorong kebijakan afirmatif memberikan tambahan sumber anggaran bagi kelurahan. “Kami akan mendorong adanya kebijakan afirmatif bagi kelurahan, baik melalui APBD Kabupaten maupun provinsi,” ucapnya.
Pihaknya juga akan melakukan kajian regulasi untuk mencari ruang kelurahan bisa mendapatkan tambahan sumber anggaran. “Misalnya melalui program-program terobosan daerah,” sambungnya.
Komisi I berkomitmen menjadi jembatan aspirasi kelurahan ke pemerintah pusat. Sebab persoalan pendanaan ini, terkait langsung dengan kebijakan nasional. Oleh karena itu, aspirasi dari kelurahan harus diteruskan ke level yang lebih tinggi agar dapat dipertimbangkan dalam perubahan kebijakan.
“Tindakan konkret lainnya mendorong Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis, seperti Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), untuk memberikan program penataan lingkungan di wilayah kelurahan. Dengan sinergi ini, kebutuhan infrastruktur kelurahan yang terkendala anggaran bisa tetap terpenuhi,” jelasnya.
Sebagai tindak lanjut dari hearing dengan kepala lingkungan, Komisi 1 akan segera melaksanakan rapat kerja bersama Bagian Pemerintahan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), dan OPD terkait. Rapat ini bertujuan untuk mengintegrasikan isu penguatan kelurahan ke dalam agenda pembahasan APBD maupun regulasi daerah. “Kami akan menindaklanjuti dengan rapat kerja bersama Bagian Pemerintahan, Bappeda, dan OPD terkait,” katanya.
“Yang terpenting, kami akan mengawal agar aspirasi ini tidak berhenti di forum, tapi mudah-mudahan masuk dalam kebijakan,” sambungnya.
Dengan langkah-langkah ini, Komisi I berharap dapat menciptakan kesetaraan pembangunan antara desa dan kelurahan. Penguatan kelurahan melalui kebijakan afirmatif dan tambahan anggaran dinilai krusial untuk memastikan seluruh wilayah, baik di perkotaan maupun perdesaan, dapat maju dan sejahtera secara merata.(win)