Joget itu dulu milik rakyat. Orang panen jagung, panen padi, habis hajatan—musik dangdut diputar, badan bergoyang. Joget itu semacam hak asasi: hak rakyat untuk sebentar lupa sama hutang di warung, lupa sama harga pupuk, lupa sama ban bocor.
Tapi sekarang? Joget sudah naik kelas. Bukan cuma di sawah, tapi juga di kantor-kantor. Bahkan anggota DPR pun joget di ruang rapat. Rupanya, joget berhasil masuk Senayan lebih cepat daripada
aspirasi rakyat.
Kalau rakyat joget, alasannya jelas. Hidup berat. Kalau DPR joget, kita jadi bingung. Apa karena gaji mereka terlalu besar sampai bingung mau diapakan, lalu dilebur jadi gerakan pinggul? Atau jangan-jangan joget itu cara halus untuk “melupakan” rakyat?
Saya kadang mikir, mungkin joget memang bahasa paling jujur bangsa ini. Rakyat joget untuk melupakan derita. Pejabat joget untuk menutupi dosa. Bedanya cuma motif, tapi goyangannya sama.
Lucunya, rakyat kalau joget di acara kampung, musiknya dangdut koplo. Sementara pejabat kalau joget, musiknya kadang cuma mars partai atau band nostalgia. Tapi intinya sama: badan goyang, pikiran lupa.
Nah, masalahnya, kalau rakyat selesai joget, besok tetap harus kerja keras lagi. Sawah tetap harus ditanami, motor tetap harus dicicil. Kalau pejabat selesai joget, apa mereka ingat untuk kerja? Atau justru joget itu jadi pekerjaan utamanya?
Mungkin kita perlu bikin aturan baru: anggota DPR boleh joget sepuasnya, tapi dengan syarat setiap kali mereka goyang pinggul, harga beras harus turun seribu rupiah. Baru adil, kan?
Jadi, jangan salah paham. Joget itu tidak salah. Yang salah itu kalau joget jadi alasan lupa kerja, lupa amanah, lupa janji. Joget boleh, asal jangan sampai rakyat hanya kebagian jadi penonton—sementara panggung dan musiknya mereka yang kuasai.
Joget rakyat itu hiburan. Joget pejabat bisa jadi hiburan sekaligus sindiran. Karena dari sawah sampai Senayan, ternyata goyangannya sama. Bedanya: rakyat joget demi hidup, pejabat joget kadang demi menyelamatkan muka. (*)