_Oleh : Dr. H. Ahsanul Khalik_
Kelangkaan Gas Melon atau tabung gas LPG 3 kilogram (kg) kembali menjadi isu panas di NTB, bukan saja di Lombok bahkan hingga Sumbawa. Sejumlah pejabat publik maupun pihak perusahaan menyebut bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sejak awal September menjadi pemicu utama lonjakan permintaan dan kelangkaan di masyarakat. Namun, benarkah semata-mata karena Maulid sehingga gas melon ini tiba-tiba sulit ditemukan? Atau ada masalah lebih serius dalam distribusi dan tata kelola yang perlu dibongkar?
Pertama-tama, mari kita jujur melihat realitas lapangan. Maulid di kalangan masyarakat Sasak memang dirayakan dengan meriah, tetapi tidak dalam skala yang mengubah pola konsumsi rumah tangga secara drastis. Kegiatan memasak tetap seperti biasa, memasak untuk tamu atau keluarga tidak bisa disamakan dengan pesta besar yang membutuhkan tambahan tabung gas dalam jumlah signifikan. Bahkan di banyak desa, Maulid disesuaikan jadwalnya per wilayah sehingga tidak serentak. Artinya, pola permintaan menyebar, bukan menumpuk dalam satu waktu. Dan tidak semua Desa/kelurahan yang mengadakan Perayaan Maulid secara besar-besaran, kalau didalami tidak sampai 25 % Dusun dan Desa. Maka, logika bahwa Maulid menjadi biang kelangkaan terasa lemah.
Lebih jauh, fenomena kelangkaan LPG 3 kg ternyata juga terjadi di Pulau Sumbawa, daerah yang tidak dikenal menggelar Maulid dengan kemeriahan seperti Lombok. Fakta ini membuktikan bahwa ada faktor lain selain Maulid yang memicu kelangkaan. Jika Sumbawa pun merasakan kesulitan mendapatkan LPG 3 kg, sementara perayaannya tidak seintens Lombok, maka alasan “lonjakan Maulid” harus ditinjau ulang.
Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus sebenarnya sudah menyalurkan tambahan atau extra dropping untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Bahkan dilaporkan, pada awal September saja, lebih dari 76 ribu tabung tambahan disalurkan di NTB. Secara teoritis, tambahan itu cukup untuk menutup lonjakan konsumsi harian. Namun, mengapa masyarakat masih mengeluh sulit mendapatkan tabung di pangkalan dan pengecer?
Di sisi lain, harga LPG 3 kg di lapangan melonjak. Di beberapa titik di Sumbawa, harga bahkan mencapai Rp 45.000 per tabung, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) resmi yang hanya sekitar Rp18.000–Rp20.000 di pangkalan. Perbedaan hampir dua kali lipat ini bukan lagi soal permintaan, melainkan soal tata niaga. Ketika harga bisa melonjak setinggi itu, ada indikasi kuat bahwa stok di pangkalan dialihkan atau dijual tidak sesuai aturan.
Regulasi terbaru mewajibkan pembelian LPG 3 kg hanya melalui pangkalan resmi dengan sistem by-name, by-address. Tujuannya baik, agar subsidi tepat sasaran. Namun, kebijakan ini membawa friksi baru. Banyak pengecer tradisional tidak lagi boleh menjual, kecuali sudah terdaftar sebagai sub penyalur resmi. Akibatnya, masyarakat yang biasanya membeli di warung terdekat harus antre di pangkalan resmi yang terbatas jumlahnya.
Kondisi ini membuka dua masalah : *_Pertama,_* distribusi tidak merata, ada pangkalan yang cepat habis, sementara ada yang kelebihan stok. *_Kedua,_* celah bagi oknum untuk “memborong” tabung dari pangkalan lalu menjual kembali dengan harga tinggi. Situasi ini diperburuk dengan laporan dugaan praktik pemindahan isi atau oplosan, di mana isi tabung subsidi dipindahkan ke tabung non-subsidi untuk dijual lebih mahal.
Jika semua itu benar, maka kelangkaan bukanlah akibat lonjakan konsumsi semata, melainkan akibat distribusi yang bocor di tengah jalan. Maulid hanya dijadikan kambing hitam untuk menutupi masalah tata kelola distribusi.
Perlu diingat, Maulid Nabi adalah tradisi sakral bagi umat Islam Sasak. Menyebutnya sebagai penyebab utama kelangkaan LPG sama saja ?dengan mengaburkan persoalan inti. Seolah-olah masyarakat yang merayakan Maulid harus disalahkan, padahal mereka hanya menjalankan ibadah dan tradisi yang telah hidup ratusan tahun.
Yang justru harus disorot adalah tata kelola distribusi LPG 3 kg bersubsidi. Pemerintah bersama Pertamina dan aparat penegak hukum sebaiknya melakukan beberapa langkah :
1. Audit stok di pangkalan dan agen. Cocokkan jumlah tabung masuk dan keluar dengan laporan distribusi. Bila ada selisih besar, perlu ditindaklanjuti.
2. Periksa kepatuhan pengecer. Pastikan hanya pengecer yang memiliki izin resmi yang menyalurkan, dan tidak ada praktik pembelian borongan oleh pihak tidak berhak.
3. Pantau harga di lapangan. Bila harga jauh di atas HET, berarti ada permainan rantai distribusi. Satgas perlu segera turun tangan.
4. Inspeksi dugaan oplosan. Penindakan tegas diperlukan terhadap pihak yang melakukan pemindahan isi tabung subsidi.
5. Transparansi distribusi. Pertamina perlu membuka data realisasi penyaluran LPG 3 kg kepada publik agar masyarakat ikut mengawasi.
Kelangkaan LPG 3 kg di NTB harus dipandang sebagai masalah tata kelola distribusi, bukan sekadar imbas perayaan keagamaan. Dengan narasi yang lebih jujur, kita bisa menghindarkan Maulid dari stigma yang tidak pada tempatnya. Lebih penting lagi, kita bisa memastikan bahwa subsidi energi benar-benar sampai kepada masyarakat kecil yang berhak.
Pada akhirnya, masyarakat hanya ingin kepastian, gas tersedia, harga sesuai aturan, dan tidak ada permainan di tengah jalan. Jangan sampai masyarakat kecil yang harus memasak untuk keluarganya menjadi korban dari sistem distribusi yang tidak tertata. Karena itu, sudah saatnya pemerintah, Pertamina, dan aparat hukum membuka tabir kelangkaan ini dan menyelesaikannya sampai ke akar.