_Oleh ; Kusnadi Unying_
Aspirasi publik merupakan salah satu pilar penting dalam kehidupan demokrasi. Ia hadir sebagai refleksi dari kebutuhan, harapan, sekaligus kritik masyarakat terhadap negara. Dalam konteks Indonesia yang plural dan majemuk, aspirasi publik tidak hanya dimaknai sebagai suara individual, tetapi juga sebagai ekspresi kolektif yang berakar pada dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Dialektika aspirasi publik menjadi keniscayaan, sebab masyarakat dan negara tidak selalu berada pada posisi yang sama; terkadang selaras, terkadang pula berseberangan.
Ketika negara gagal menyerap aspirasi rakyat secara proporsional, ketegangan sosial tidak dapat dihindarkan. Sebaliknya, apabila aspirasi publik diakomodasi secara adil dan transparan, maka akan lahir harmonisasi regional yang menjadi fondasi bagi stabilitas nasional.
Aspirasi Publik sebagai Dialektika Demokrasi
Dalam teori demokrasi deliberatif (Habermas, 1996), ruang publik menjadi arena komunikasi antara negara dan masyarakat. Aspirasi publik seharusnya menjadi bahan pertimbangan utama dalam proses perumusan kebijakan. Namun, dalam praktiknya seringkali terjadi ketidakselarasan: kebijakan lahir dari logika elitis dan teknokratis, sementara rakyat menilainya dari pengalaman keseharian yang penuh keterbatasan.
Contoh nyata dari ketegangan ini tampak pada kontroversi kebijakan tunjangan rumah dinas DPR RI. Bagi masyarakat, kebijakan ini tidak hanya mencerminkan jarak antara elite dan rakyat, tetapi juga menjadi simbol lemahnya empati wakil rakyat terhadap kondisi sosial-ekonomi. Sementara dari perspektif elite, kebijakan tersebut dinilai wajar dengan pertimbangan rasional ekonomi. Ketegangan dialektis inilah yang kemudian melahirkan gelombang protes sosial di berbagai daerah.
*Harmonisasi Regional sebagai Tujuan Bersama*
Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas sangat bergantung pada stabilitas regional. Harmonisasi di tingkat daerah menjadi prasyarat terciptanya stabilitas nasional. Aspirasi publik, apabila diartikulasikan secara damai dan disalurkan melalui mekanisme demokratis, dapat menjadi energi konstruktif bagi pembangunan daerah.
Namun, apabila aspirasi publik tidak mendapat ruang yang layak, ia akan menjelma menjadi potensi disintegrasi. Demonstrasi yang berujung pada anarkisme, pembakaran fasilitas publik, bahkan bentrokan dengan aparat keamanan merupakan bentuk kegagalan dalam mengelola dialektika aspirasi. Oleh karena itu, negara, aparat, dan masyarakat harus sama-sama memandang aspirasi bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat.
Tantangan Utama: Politik Uang dan Disinformasi
Dua faktor krusial yang kerap merusak harmonisasi regional adalah praktik politik uang dan disinformasi.
_Pertama_ adalah Politik uang merusak kualitas demokrasi karena menjadikan aspirasi publik sebagai komoditas transaksional. Ketika suara rakyat dibeli, representasi politik pun kehilangan legitimasi moral, dan kebijakan publik cenderung berpihak pada kepentingan sempit.
_Kedua_ Disinformasi di era digital sering kali memperkeruh suasana. Framing isu yang memperhadapkan masyarakat dengan aparat, atau yang sengaja menimbulkan polarisasi, adalah strategi provokatif yang berpotensi mencederai keutuhan sosial
Menghadapi dua tantangan ini, diperlukan literasi politik dan literasi digital yang kuat agar masyarakat lebih kritis sekaligus bijak dalam merespons informasi serta dalam menentukan pilihan politik.
*Rekomendasi*
Untuk membangun harmonisasi regional melalui dialektika aspirasi publik, upaya upaya dapat di tempuh melalui:
Pemerintah pusat dan daerah perlu membuka ruang dialog yang partisipatif, sehingga kebijakan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
DPR dan lembaga legislatif daerah harus menjunjung tinggi integritas dan menolak praktik politik uang yang merusak kualitas demokrasi.
Aparat keamanan perlu mengedepankan pendekatan humanis dalam mengawal demonstrasi, agar aspirasi dapat tersalurkan tanpa memicu konflik.
Masyarakat sipil dituntut untukberpartisipasi aktif secara kritis, bukan sekadar reaktif, dalam menyampaikan aspirasi dan mengawal kebijakan publik
Dialektika aspirasi publik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan dimaknai sebagai bagian dari dinamika demokrasi. Ketika aspirasi dikelola dengan mekanisme yang sehat dan penuh tanggung jawab, maka ia dapat menjadi energi positif untuk membangun harmonisasi regional.
Indonesia tidak membutuhkan demokrasi yang penuh kekerasan, melainkan demokrasi yang menjunjung tinggi etika, integritas, dan perdamaian. Karena itu, mari bersama-sama menolak politik uang, melawan disinformasi, serta mengartikulasikan aspirasi secara damai demi terwujudnya “Damai Indonesiaku.”