MATARAM – No Mercuri No Sianida. Kata-kata yang diucapkan ramai-ramai dalam penyerahan SK kepengurusan DPW Asosiasi Penambang Rakyat Indoensia (APRI) Provinsi Nusa Tenggara Barat. Ketua DWP APRI NTB, Lalu Imam Haramain terlihat menerima SK sekaligus langsung dilantik untuk periode 2025-2030 oleh Ketua Umum DPP APRI, Gatot Sugiharto di Mataram, Senin (25/08).
Ketua Umum DPP APRI Pusat, Gatot Sugiharto menegaskan APRI bahwa sebenarnya DPW APRI NTB sudah terbentuk sejak delapan tahun silam. APRI saat ini masih satu-satunya Asosiasi tambang yang memiliki kepengurusan tingkat nasional. APRI bersifat independent, tidak berada dibawah naungan pemerintah apalagi partai politik.
Ditegaskannya, APRI memiliki visi-misi untuk mendorong peningkatan kapasitas penambang rakyat supaya terorganisir, legal, aman, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Sebab jika tambang rakyat masih dikelola secara asal-asalan hasilnya pasti tidak maksimal dan berpotensi merusak lingkungan.
“APRI membangun konsep Responsible Mining Communtiy (RMC)”, yaitu pertambangan rakyat yang berkomitmen untuk mewujudkan kelembagaan (Koperasi) yang professional, berizin (IPR), bekerja dengan aman (Safety), pengelolaan ramah lingkungan, penyiapan program rehabilitasi dan reklamasi paska tambang, mengupayakan keberlanjutan, diversifikasi usaha, pasar legal (green market), dan meningkatkan peranan perempuan untuk berkontribusi nyata dalam penyediaan lapangan kerja (mengurangi pengangguran), serta meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat lokal.
DPP APRI sangat mengapresiasi Polda NTB bersama Pemprov NTB yang berani turun gunung mengurus pertambangan rakyat. Ini adalah sebuah “anomali positif”.
“Kami sangat mengapresiasi Kapolda dan Pemda NTB. Kalau pertambangan rakyat ini berhasil bisa menjadi contoh model tambang rakyat tidak hanya nasional namun internasioanal,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua DPW APRI NTB, Imam Haramain mendorong tambang rakyat berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Dirinya juga mengapresiasi Kapolda NTB yang berani turun mengatur urusan tambang rakyat supaya dikelola tidak semena-mena.
Adanya lampu hijau Pemprov NTB untuk tambang rakyat merupakan angin segar. Namun APRI mewanti-wanti jangan sampai ketika IPR dikeluarkan pemerintah, penambang semena-mena.
“Kegiatan pertambangan harus tertib! Disinilah APRI akan mendorong adanya manajemen bisnis tambang dan produksi yang profesional dan akuntabel. Mulai bagaimana menambang di wilayah yang potensinya bagus, bagaimana memilih teknologi yang sesuai, bagaimana sistem monitoring produksi agar pajak/royalty dan retribusi bisa secara disiplin dibayarkan kepada pemerintah, dan seterusnya,” terang Imam.
Tentunya, jika pelaksanaan IPR (Izin Pertambangan Rakyat,red) bisa dikawal dan diawasi maka akan sangat memudahkan untuk mengontrol retribusi yang masuk ke daerah.
Sesuai regulasi dan kepentingan pariwisata di NTB, maka APRI akan memastikan bahwa di dalam pengelolaan IPR tidak lagi ada penggunaan Merkuri dan Sianida. Merkuri nyata-nyata sudah dilarang pemakaiannya dan sebentar lagi Sianida pasti akan dilarang, karena Sianida adalah bahan beracun berbahaya (B3) yang sudah dilarang pemakaiannya hampir di semua negara. Untuk mengantisipasi itu, APRI akan melakukan pelatihan-pelatihan untuk menerapkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, sehingga masyarakat penambang tetap memiliki opsi yang menguntungkan.
Salah satu konsep APRI dalam pengolahan adalah “Sentralisasi Pengolahan” di setiap blok-blok Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), seperti misalnya di Lantung atau Simba. Di dalam sentra pengolahan tersebut penambang memiliki tiga opsi/pilihan, yaitu jual batu/bahan, kerjasama pengolahan, atau rental alat pengolahan (penambang mengolah sendiri). Namun yang paling penting bahwa pengolahan hanya berada di sentra pengolahan. Nantinya tidak ada lagi penambang yang mengolah dirumah-rumah.
Dengan sentralisasi pengolahan maka semua limbah dan sisa hasil pengolahan (SHP) akan terkonsentrasi, sehingga lebih mudah untuk penanganannya. Selain itu produk dari hasil tambang rakyat dapat tercatat oleh pemerintah, yang tentunya akan dikenakan retribusi sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Perda Prov. NTB nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Pertambangan dan Minerba, pasal 34 ayat 1 dan 2: Pemegang IPR dilarang menjual hasil produksinya langsung kepada pembeli/pihak ketiga tanpa persetujuan Gubernur. Pemegang IPR wajib melakukan penjualan produk tambang rakyat kepada Badan Usaha Milik Desa, Badan Usaha Milik Daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara. Sentralisasi Pengolahan adalah salah satu model pengelolaan yang akan mempermudah implementasinya.
Imam mengaku dirinya ikut terlibat di pertambangan rakyat sebagai bentuk kepeduliannya kepada daerah. Ia tidak menghendaki tambang rakyat berjalan tidak teratur, semena-mena apalagi tidak memiliki manfaat yang jelas untuk masyarakat dan penerimaan daerah. (jho)