Kisah Para Korban Gempa Lombok 2018 yang Tak Kunjung Dapat Bantuan
Tiga tahun delapan bulan korban gempa di Lombok Tengah menunggu bantuan. Sejak gempa dahsyat Agustus 2018, sampai hari ini tak ada kepastian kapan dana perbaikan rumah mereka terima.
———————————————–
KESAL dan kecewa masih terpancar dari raut wajah Mashun, 40 tahun. Sesekali dia menunjukkan emosinya saat ditanya seputar kondisi rumahnya yang rusak diguncang gempa bumi 2018 silam.
Pria asal Dusun Rerantik Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara Kabupaten Lombok Tengah itu, tidak lagi percaya dengan pemerintah. Dia merasa pemerintah hanya memberi harapan palsu.
Dari hasil penelusuran Radar Mandalika, banyak korban gempa 2018 merehab rumah secara mandiri di Kabupaten Lombok Tengah. Mahsun, salah satu korban gempa di Dusun Rerantik Desa Lantan menceritakan, ia dan keluarganya mengungsi selama empat bulan.
“Kalau sekarang saya berani tempati rumah yang dulunya banyak retak ini, karena kami sudah tempel pakai semen,” ungkapnya.
Selama mengungsi, Mahsun bersama anak dan istrinya menjadikan berugak ukuran 2,5 x 2,5 meter sebagai rumah sementara. Mirisnya, berugak (gazebo) ini dia beli dari utang ke tetangga.
“Saya pinjam uang Rp 5 juta dari warga di kampung untuk beli berugak. Karena saat itu gempa selalu ada,” terangnya.
Sejak lama dirinya menunggu dana perbaikan rumah dari pemerintah. Tapi tak kunjung ada kabar sampai detik ini. “Saya terpaksa sekarang memberanikan diri bersama anak istri menempati rumah yang masih retak karena gempa,” katanya.
Meski kerap dihantui rasa takut, tapi tidak ada pilihan. Dia harus menempati rumah itu.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani di kebun pisang hutan kemasyarakatan ini tak tahu harus bagaimana mengatasi rumahnya yang retak dari luar dan dalam. Bahkan sampai dengan saat ini rasa trauma masih dirasakan anak dan istri.
“Kalau rasa cemas pasti tetap ada,” tuturnya.
Ia mengaku, saat ini uang yang dipinjam dari tetangga untuk membeli rumah Rp 5 juta sudah dilunasi. “Semua saya carikan dari hasil berkebun,” ungkapnya.
Dari hasil berkebun, Mahsun setidaknya setiap bulan minimal ia peroleh Rp 500 ribu. Tapi belum dihitung untuk beli bensin motor ke hutan. ”Biasa saya isi bensin motor 2 liter kalau mau masuk hutan,” ujarnya.
Dari kondisi kehidupan ini, Mahsun harus mampu mencukupi biaya dua anak yang masih duduk di bangku sekolah, SMA dan SMP. Belum lagi kebutuhan dapur dan lainnya.
Nasib serupa dirasakan Saprudin, korban gempa lain di dusun tersebut. Kepada Radar Mandalika ia mengaku sampai sekarang belum mendengar kabar dana perbaikan rumah pascagempa bumi.
Sampai sekarang Saprudin belum berani menempati rumahnya dengan kondisi memperihatinkan. Kayu dijadikan penahan atap rumah yang sudah jatuh.
“Saya setiap hari berjualan di obyek wisata desa Babak Pelangi. Anak saya dua masih sekolah. Gempa pertama membuat kami mengungsi sampai saat ini di rumah keluarga, tidak jauh dari rumah saya,” katanya.
“Kita sebagian besar di kampung ini belum mendapatkan dana perbaikan rumah,” sambung tokoh masyarakat dusun setempat, Sahwan.
Sementara itu, di Dusun Sumberan Desa Lantan. Inaq Nurini atau Nase mengaku rumahnya sudah direhab. Tapi sampai sekarang masih khawatir menempati rumah ukuran 7×8 meter itu.
”Tembok depan rumah dan samping retak awalnya setelah gempa 2018. Atap juga sudah diganti sekarang,” ceritanya
Namun cara yang sama dilakukan Nase, ia terpaksa melakukan rehab mandiri rumahnya dengan menghabiskan dana Rp 25 juta. Mulai mengganti atap genteng menjadi atap dari spandek.
“Anak-anak kami yang urunan melakukan perbaikan,” tuturnya.
Warga lainya di Dusun Sumberan, Nariah, juga rumahnya rusak ringan akibat gempa. Jika ditotalkan dirinya telah menghabiskan dana rehab mendiri Rp 25 juta. Uang untuk rehab dia peroleh dari hasil berkebun sejak lama.
“Semua uang itu hasil berusaha tani,” ungkapnya.
Namun diakuinya, setidaknya 1 tahun lamanya ia mengungsi pasca gempa bumi. Lama menunggu bantuan pemerintah akhirnya diputuskan rehab secara mandiri.
“Padahal uang itu saya niatkan untuk biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan lain,” ujarnya.
Kepala Dusun Pemasir Desa Lantan, Hasanudin mengaku di dusun yang dia pimpin pernah diusulkan 73 rumah yang rusak akibat gempa bumi. Baik rusak berat, ringan dan sedang.
“Masyarakat sebenarnya sudah bosan bahkan sering marah kalau ada petugas turun survei dan foto-foto rumah mereka. Sebab, mereka tidak pernah menerima bantuan perbaikan rumah,” katanya.
Kepala Desa Lantan Erwandi membenarkan pengakuan warganya. Sejauh ini yang diketahuinya ada sembilan orang warga Desa Lantan telah memperbaiki rumahnya secara mandiri.
“Karena mereka tidak sabaran menunggu. Tapi memang kenyataan sampai sekarang masih ada puluhan rumah warga kami terdampak gempa bumi belum turun juga bantuan perbaikan rumahnya,” ungkap Kades Lantan.
Erwandi mengaku, sembilan orang warga yang memperbaiki rumah secara mandiri ini diketahui kondisi ekonomi standar. Beda halnya dengan puluhan warga yang belum menerima bantuan dana perbaikan rumah yang pernah di usulkan pemerintah desa tahun 2019, kondisi ekonomi mereka memprihatinkan.
“Mau tidak mau mereka bersabar dan menunggu sampai detik ini. Untuk makan saja mereka susah apalagi mau perbaiki rumah,” terangnya.
Kades Lantan juga membeberkan data usulan perbaikan rumah terdampak gempa bumi ke Dinas Perkim Lombok tengah 2019. Setidaknya ada 470 usulan perbaikan terdiri dari rusak berat, sedang bahkan ringan.
“Seingat saya 170 kategori rusak berat, sisanya sedang dan ringan,” bebernya.
Kades mengakui, saat usulan pertama tahun 2018 memang saat itu pernah dilakukan pemerintah desa. Namun dari hasil evaluasinya data rumah yang diusulkan tidak begitu banyak hanya sebagian kecil saja. “Karena saya menjabat kades terhitung 1 Januari 2019. Dari situ kalau tidak salah bulan Mei saya ajukan tambahan ke Dinas Perkim,” kata mantan pendamping PKH itu.
Dari data yang diusulkan saat pemerintahannya, semua data usulan dusun Desa Lantan. Di antaranya, Dusun Pemasir, Rerantek, Ndot Tojang, Lantan Duren, Gubuk Makam dan Kesah dan lainnya.
Kades menegaskan, saat pendataan juga pihaknya melibatkan semua perangkat desa. Mulai dari RT, kadus bahkan sampai mahasiswa KKN yang berkegiatan di desa dilibatkan turun melakukan pendataan.
“Yang belum ada kejelasan saat ini perbaikan rumah rusak sedang dan ringan. Kami pastikan rusak berat sudah beres,” tegasnya.
Hingga kini, pemerintah desa masih memperjuangkan kelanjutan bantuan bagi warga yang rumahnya belum diperbai.
Ia juga mengaku, pemerintah desa memang tidak terlalu banyak terlibat dalam pembangunan rumah tahan gempa (RTG). Pemdes hanya mengusulkan data setelah itu warga berkomunikasi dengan Pokmas yang dibentuk di bawah.
“Bahkan dari tahap awal saya tidak tau jumlah rumah yang dapat dana perbaikan. Taunya dari fasilitator sesuai SK keluar,” sebutnya lagi.
Sepengetahunnya, bagi warga yang rumah rusak berat mendapatkan anggaran perbaikan rumah Rp 50 juta, sedang Rp 25 juta dan ringan Rp 10 juta.
Sementara itu, untuk hasil evaluasi di bawah setidaknya ada 15 unit rumah warga kategori rusak sedang belum mendapatkan dana perbaikan. Rumah ini tersebar di Dusun Gubuk Makam, Kesak, Lantan Duren, Ndot Tojang dan Rerantik. Bahkan ada 50 unit rumah kategori rusak sedang belum mendapatkan dana perbaikan.
“Saya berharap supaya rumah masyarakat rusak ini segera tertangni. Soalnya jujur kami kadus bahkan saya turun ke bawah pasti diprotes, ditanya kapan diperbaiki. Mau jawab apa, ya kami bilang menunggu info dari kabupaten saja,” jawabnya.
Kades menceritakan, saat bencana baru terjadi tahun 2018 itu, pemdes mengambil tindakan setiap bantuan masuk ke Desa Lantan harus melalui satu pintu. Dimana desa langsung sebagai penyalur agar tujuannya bantuan merata disalurkan kepada warga.
Dari perjalanan itu sang kades juga membeberkan pernah mendapatkan musibah warganya di tengah bencana alam. Seorang balita berusia 2 bulan meninggal dunia di bawah tenda pengungsian tepatnya di Dusun Pemasir.
“Dugaan kami meninggal dunia karena sesak napas. Bayangkan karena asaf darup, dingin karena tinggal di bawah tenda,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Tengah, H. Ridwan Ma’ruf belum mengetahui ada warga yang memperbaiki rumah secara mandiri.
Namun pihaknya berjanji bagi yang belum dibangunkan rumah korban gempa bumi akan diperjuangkan.
”Sekarang kami menunggu pusat, kalau diminta maka kami akan usulkan,” katanya.
Selain di Desa Lantan, wilayah Kecamatan Pringgarata juga sesuai pengangkuan kades dan warga banyak warga belum dapat dana perbaikan rumah. Namun ditegaskannya, yang memfinalkan data usulan pemerintah pusat, kabupaten hanya mengusulkan sesuai hasil verifikasi dilakukan.
“Usulan kita banyak, yang terealisasi tidak semua,” ungkapnya.
Ridwan juga mengklaim semua rumah terdampak gempa bumi Lombok Tengah tuntas dibangun. Kalau ada yang muncul informasi rumah belum dibangun data di BPBD tidak ada.
Dirincikan rumah yang sudah dibangun pemerintah. 26.370 unit sudah terbangun dengan total anggaran disedot sumber APBN Rp 525.030.000.000. Dari total rumah dibangun terdiri dari rusak berat 5.133, rusak sedang 3.744 dan rusak ringan 17.503 unit.
“Ini tersebar di 12 kecamatan. Paling banyak di Kecamatan Batukliang Utara, Batukliang dan Pringgarata,” bebernya.(red)