Oleh: Abdus Syukur*

Aklamasi itu bukan soal siapa yang lebih hebat. Bukan pula tentang siapa paling banyak baliho, paling ramai penggiring opini, atau paling lihai bermain kata di grup WhatsApp.

Aklamasi adalah cermin kedewasaan. Bukti bahwa sebuah organisasi sudah selesai dengan ego personal dan kini bersiap berlari kencang demi kemajuan bersama.

Saya belajar dari banyak organisasi. Baik yang saya pernah pimpin, yang saya ikuti, atau yang saya amati dari dekat. Polanya hampir seragam: organisasi yang gagal mencapai aklamasi dalam suksesi, cepat atau lambat akan mengalami dualisme. Bahkan bisa lebih parah: perpecahan yang tak berkesudahan. Kenapa? Karena ego yang tak selesai sejak awal akan menjelma jadi bara api yang membakar dari dalam.

Saya tahu, tidak semua orang sepakat dengan aklamasi. Ada yang bilang itu tak demokratis. Ada yang mencibir: “Takut kalah ya?” Tapi mereka lupa: demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal bermusyawarah. Dalam konteks organisasi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), aklamasi justru jalan terhormat jika memang semua sepakat untuk mendorong satu nama terbaik, satu figur pemersatu.

Banyak wartawan senior bicara ke saya, diam-diam atau terang-terangan: “Kalau bisa aklamasi saja. Supaya tidak pecah, supaya kita kembali fokus ke kerja-kerja besar.” Bahkan beberapa tokoh pers nasional yang saya kenal baik pun mengutarakan hal serupa. Mereka khawatir, jika konflik mulai tumbuh di akar organisasi profesi, maka independensi dan martabat kita sebagai wartawan akan ikut tergadaikan.

Jangan remehkan dampak disharmoni di tubuh organisasi wartawan. Kalau ada dua kubu di satu provinsi, siapa yang akan dipercaya berbicara atas nama organisasi? Siapa yang akan duduk berhadapan dengan pemerintah, membela wartawan yang dikriminalisasi? Siapa yang akan melatih anak-anak muda untuk jadi jurnalis andal dan beretika?

Tanpa soliditas, semuanya rapuh. Tanpa kepercayaan, organisasi hanya tinggal papan nama. Dan tanpa aklamasi, sangat mungkin jalan menuju dualisme itu terbuka lebar.
Aklamasi bukan soal siapa yang ingin tampil. Tapi siapa yang paling siap menanggung beban. Beban menjaga kehormatan profesi. Beban memimpin ratusan kepala wartawan dengan ego dan karakter masing-masing. Beban menjaga agar organisasi tak berubah jadi alat kepentingan politik, proyek, atau kelompok tertentu.

Maka jika ada satu sosok yang dinilai mumpuni, punya rekam jejak baik, bisa diterima semua pihak, dan siap mengorbankan waktu dan pikirannya untuk organisasi—mengapa tidak kita aklamasikan?

Organisasi ini milik bersama. Tapi jika semua merasa layak memimpin, dan tak ada yang rela mengalah, maka bukan organisasi yang tumbuh—melainkan ego yang saling tumbuk. Dan dari situ, konflik akan tumbuh subur seperti jamur di musim hujan.
Kita sudah lelah dengan konflik. Kita sudah terlalu sering melihat organisasi besar jadi kecil hanya karena gagal satu hal: bermufakat.
PWI adalah rumah kita bersama.

Jangan biarkan rumah ini retak karena jendela-jendela ego yang terlalu terbuka. Kalau bisa aklamasi, kenapa harus saling jegal?

Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi kita semua, terutama para anggota PWI NTB, menjelang Konferensi Provinsi PWI NTB ke-7 pada 2–3 Agustus 2025. Sebuah momentum lima tahunan yang bukan sekadar ajang memilih pemimpin, tapi juga cermin kedewasaan kolektif kita sebagai komunitas pers.

Kita tidak sedang memilih sekadar ketua. Kita sedang memilih arah, memilih iklim, dan memilih masa depan. Dan masa depan yang kokoh hanya lahir dari pondasi yang tidak retak. Maka sebelum kita datang ke arena konferprov dengan semangat kompetisi, mari kita datang terlebih dahulu dengan semangat kebersamaan.

*Wakil Ketua PWI NTB

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *