Angka dua itu sederhana. Tidak istimewa. Tidak ganjil. Tidak pula genap yang sempurna. Tapi di Universitas Mataram, angka dua kini punya cerita.

Prof Kurniawan mendapat nomor urut 2 dalam kontestasi calon Rektor Unram periode 2026–2030. Pengundian biasa. Prosedural. Selesai. Namun justru dari proses yang kelihatan rutin itulah, sebuah pertanyaan muncul: ke mana Unram akan dibawa?

Prof Kurniawan tidak banyak bermain dengan slogan. Ia memilih satu kata yang belakangan sering diucapkan, tapi jarang ditunaikan: transformasi.

Transformasi bukan gedung baru. Bukan pula spanduk visi misi yang diganti setiap pergantian pimpinan. Transformasi, kata Kurniawan, harus selaras dengan Asta Cita Diktisaintek, berdampak nyata, dan sejalan dengan arah pembangunan NTB.

Kata selaras ini penting. Banyak kampus bergerak cepat, tapi tidak searah. Banyak riset ditulis rapi, tapi tak pernah turun ke tanah. Banyak pengabdian masyarakat, tapi lebih sibuk memenuhi laporan ketimbang menjawab masalah.

Di Lombok, kampus tidak bisa hidup sendiri. Ia dikelilingi petani, nelayan, pelaku UMKM, masyarakat adat, dan wilayah rawan bencana. Kalau kampus hanya sibuk dengan jurnal dan akreditasi, ia akan jauh. Terhormat, tapi jauh.

Di situlah Prof Kurniawan menempatkan gagasannya: kampus berdampak. Ilmu tidak cukup benar. Ia harus berguna. Penelitian tidak cukup terbit. Ia harus terasa.

Unram, bagaimanapun, adalah kampus terbesar di NTB. Ia bukan hanya pusat pendidikan, tapi juga penentu arah peradaban lokal. Apa yang dipilih kampus hari ini, akan dirasakan daerah lima atau sepuluh tahun ke depan.

Pemilihan rektor memang belum selesai. Kita tahu, dalam sistem perguruan tinggi negeri, suara menteri ikut menentukan. Demokrasi kampus selalu punya batas. Tapi justru di ruang yang terbatas itulah, kualitas gagasan diuji.

Nomor urut dua tidak menjamin apa-apa. Tapi gagasan yang jernih, konsisten, dan membumi—itu yang akan diingat.

Barangkali Unram sedang tidak mencari rektor yang paling lantang. Mungkin yang dibutuhkan justru pemimpin yang tahu kapan bicara, kapan bekerja. Yang tidak sibuk menjelaskan perubahan, tapi membuat perubahan itu terjadi tanpa banyak sorak.

Kita lihat saja. Angka dua sudah ditentukan. Selebihnya, waktu yang akan menguji. (has)

Keterangan Foto:

Kurniawan (Kanan) bersama Ngatawi Al-Zastrow (Gus Zastrow): budayawan dari kalangan nahdliyin. (Foto: istimewa)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *