Jakarta – Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Eddy Hiariej, menjelaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional membawa visi reintegrasi sosial. Artinya, KUHP yang akan diberlakukan sejak 2 Januari 2026 ini bertujuan memberikan kesempatan kepada pelaku pidana untuk bertobat dan kembali berkontribusi bagi masyarakat.
“Jadi kita reintegrasi sosial. Bagaimana memberikan kesempatan kepada orang yang berbuat salah itu untuk bertobat, memperbaiki dirinya, biar bisa diterima di masyarakat dan bisa bermanfaat bagi masyarakat,” ucap Wamen dalam pertemuannya dengan Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Eddy mengatakan kalau KUHP Nasional akan membuat sistem hukum pidana menjadi lebih manusiawi. Nantinya, penjatuhan pidana penjara tidak lagi menjadi yang utama. Hal ini dilakukan untuk menghindari stigma negatif yang sering dilabelkan kepada pelaku tindak pidana, meskipun tindak pidana ringan.
“Kalau kita punya tetangga yang baru keluar penjara karena mencuri, pasti jadi omongan, jangan bergaul dengan dia, dia itu mantan napi. Seakan-akan orang berbuat dosa itu tidak ada ampunannya di muka bumi. Itu yang kita cegah dengan reintegrasi sosial, supaya tidak ada stigma buruk terhadap dia,” katanya.
Eddy mengungkapkan, penjatuhan hukuman penjara akan diberikan bagi tindak pidana yang ancamannya dalam waktu panjang, yaitu kejahatan berat seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Sementara itu, jika seseorang melakukan tindak pidana yang ancamannya tidak lebih dari lima tahun, maka hakim menjatuhkan pidana pengawasan. Demikian pula dengan mereka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman tidak lebih dari tiga tahun, maka dapat dijatuhi pidana kerja sosial.
“Misalnya dia punya kemahiran mengendarai mobil, maka dia bekerja untuk angkutan layanan publik tapi tidak dibayar sebagai hukuman. Juga ada batasannya bahwa jam kerjanya dia itu tidak boleh mengganggu kesempatan dia untuk mencari nafkah,” tutur Eddy.
KUHP Nasional, lanjutnya, tidak lagi memandang hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Melainkan menerapkan keadilan korektif yang berarti pelaku dikenakan sanksi sebagai tindakan korektif. Kemudian, keadilan restoratif untuk memulihkan korban, serta keadilan rehabilitatif bagi korban dan pelaku.
“Sanksi menurut KUHP baru tidak mesti pidana. Dalam KUHP baru itu sanksi bisa berupa pidana, bisa berupa tindakan. Hakim boleh menjatuhkan pidana dan tindakan secara bersamaan, boleh menjatuhkan pidana tanpa tindakan, tetapi boleh juga tindakan tanpa pidana,” terang Eddy.
Menurut Eddy, sistem pemidanaan di Indonesia telah tertinggal lebih dari 50 tahun jika dibandingkan dengan modifikasi hukum pidana di negara-negara maju. Sebagai contoh, negara-negara di Eropa dan Amerika Utara mengenal adanya semi detention. Artinya, seseorang mendekam di penjara mulai pukul 06.00 sore sampai pukul 06.00 pagi hari berikutnya. Ada pula sistem weekend detention yang berarti seseorang mendekam di penjara mulai hari Sabtu pukul 00.00 dan keluar dari penjara hari Senin pukul 00.00.
“Misalnya seseorang terbukti secara sah melakukan tindak pidana pencurian dan dijatuhi pidana penjara dua tahun dengan semi detention. Maksudnya dia mendekam di penjara dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Lalu jam 6 pagi sampai jam 6 sore ya dia bekerja seperti biasa. Reintegrasi sosial, jadi dia tidak diberi stigma,” jelas Eddy.
Di Indonesia sendiri, kata Eddy, modifikasi pidana dalam KUHP Nasional berupa pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda. Eddy pun menegaskan bahwa KUHP Nasional tidak akan melemahkan hukum pidana, tetapi bermaksud membuat hukum pidana menjadi lebih manusiawi.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Nusa Tenggara Barat, I Gusti Putu Milawati, menyatakan bahwa penerapan KUHP Nasional menjadi momentum penting perubahan paradigma penegakan hukum pidana di Indonesia, termasuk di daerah.
“KUHP Nasional membawa semangat pembaruan hukum pidana yang lebih berkeadilan dan berorientasi pada kemanusiaan. Pendekatan reintegrasi sosial ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk tidak semata-mata menghukum, tetapi juga memulihkan dan memberdayakan pelaku agar dapat kembali berperan positif di tengah masyarakat,” ujarnya. (*)