Oleh: Salman Faris
Terhadap fakta penetapan Usman dan Acip sebagai tersangka, terdapat dua keadaan emosional yang muncul secara bersamaan dalam diri saya. Pertama, saya terkejut. Saya mengenal kedua junior saya ini dengan sangat dekat. Sedemikian dekatnya sehingga aspek-aspek terdalam tentang diri mereka, termasuk urusan yang mereka anggap amat personal, mereka percayakan kepada saya. Dengan kedekatan demikian, bahkan apabila kelak hakim memutuskan bahwa mereka bersalah, saya mungkin tetap tidak akan meyakini kesimpulan tersebut.
Namun pada saat yang sama, saya sebenarnya tidak terkejut. Dalam konteks politik Indonesia, siapa pun dapat berubah menjadi figur yang paling suci dalam sekejap, dan sebaliknya dapat pula tiba-tiba digambarkan sebagai sosok yang paling kotor. Hal ini bukan sesuatu yang mengherankan, sebab logika dasar pertarungan politik kita dibangun atas anggapan bahwa lawan harus disingkirkan. Situasi ini diperparah oleh struktur internal partai politik yang sangat sentralistik, di mana ketua partai memiliki otoritas hampir absolut. Sebuah posisi yang menuntut kepatuhan tanpa syarat. Dalam sistem politik dan kepartaian yang gelap seperti itu, siapa pun dapat terseret menjadi tampak jahat, meskipun watak dasar mereka sejatinya adalah kebaikan.
Atas dasar itu, sejak awal saya ingin menegaskan posisi tulisan ini yakni saya meyakini bahwa Usman dan Acip adalah korban dari lorong-lorong gelap politik dan dunia kepartaian Indonesia. Saya menyadari bahawa pernyataan ini mungkin terdengar subjektif. Namun sebagai seseorang yang mengenal mereka secara personal, subjektivitas tersebut justru merupakan bentuk kebenaran yang paling otentik bagi saya.
Untuk menggambarkan karakter dasar mereka, saya mengingat sebuah peristiwa ketika Acip pada masa ia masih sangat muda, jauh sebelum kedewasaan yang ia miliki sekarang, dipercayai memegang uang dalam jumlah besar. Jumlah itu, jika diperkirakan, mungkin mencapai puluhan miliar rupiah, jauh melampaui nilai perkara yang kini menjeratnya. Seandainya Acip memiliki tabiat sebagai pemakan uang, ia tidak perlu menunggu hingga hari ini untuk melakukan tindakan buruk. Namun karena watak dasarnya bukan demikian, orang yang sama tetap mempercayakan uang dalam jumlah besar kepadanya pada banyak kesempatan.
Demikian pula halnya dengan Usman. Ia adalah seorang pembelajar yang sangat cermat, pemikirannya kreatif dan berani, tetapi setiap tindakannya selalu terukur. Saya teringat ketika lembaga kami pernah berada dalam kondisi yang paling berat. Kami mengalami kerugian ratusan juta rupiah, dan tidak seorang pun memiliki kemampuan finansial untuk menalangi masalah tersebut kecuali Usman. Ia mengambil risiko besar, menalangi kerugian itu, dan menyelamatkan banyak pihak dari keadaan yang lebih buruk. Walaupun setelah itu masalah baru terus muncul hingga akhirnya lembaga memutuskan untuk menghentikan usaha tersebut. Tindakan Usman menggambarkan karakter dasarnya yaitu keberanian berkorban demi kepentingan bersama. Jika ia menginginkan kehidupan yang nyaman bagi dirinya sendiri, ia sebenarnya tidak perlu terjun ke dunia politik, sebab latar belakang sosial-ekonominya sudah cukup menjamin hal tersebut.
Karena saya tidak dapat terlibat secara langsung dalam pembelaan terhadap Usman dan Acip, maka saya memilih untuk membangun sebuah ruang diskusi maya mengenai perbedaan antara fakta dan kebenaran. Melalui diskusi maya inilah saya berusaha memanggil kembali pengetahuan, kesadaran, dan kejernihan pemikiran yang selama ini dimiliki oleh Usman dan Acip tentang kedua konsep tersebut dengan harapan agar mereka tetap berada dalam kekuatan akal dan kedalaman batin.
Selain itu, diskusi maya ini saya tujukan kepada siapa pun yang mungkin menghendaki Usman dan Acip berada dalam situasi seperti sekarang. Saya ingin mereka menyadari bahwa penetapan status tersangka tidak akan serta-merta mengubah jati diri Usman dan Acip sebagai pribadi-pribadi yang baik menjadi sosok buruk sebagaimana sering dipersepsikan dalam lorong gelap politik dan kepartaian di Indonesia. Sebab karakter dasar seseorang tidak ditentukan oleh label hukum yang belum terbukti, apalagi oleh persepsi yang dibentuk dalam arena politik yang penuh manipulasi.
Dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan 1) seperti itu faktanya atau 2) ini kebenarannya, seolah-olah kedua kata itu merujuk kepada hal yang sama. Padahal, dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat, fakta dan kebenaran adalah dua hal yang sangat berbeda. Perbedaannya tidak hanya soal definisi, tetapi soal bagaimana manusia memahami dunia, membentuk makna, dan membangun wacana yang mempengaruhi cara kita berpikir. Meski tampak sederhana, perbedaan ini sesungguhnya menentukan cara kita membaca sejarah, menilai media, memahami politik, bahkan membentuk pandangan kita tentang diri sendiri dan masyarakat.
Fakta adalah apa yang terjadi, sementara kebenaran adalah bagaimana kita memaknai apa yang terjadi. Fakta bersifat keras, stabil, dan tidak peduli pada pendapat kita. Fakta tidak berubah walaupun kita membencinya, meragukannya, atau mengabaikannya. Dalam tradisi positivisme Auguste Comte, fakta dianggap sebagai dasar ilmu pengetahuan. Sesuatu yang boleh diuji oleh pancaindera atau instrumen sains.
Bertrand Russell menegaskan bahwa fakta berdiri independen dari kepercayaan manusia. Karl Popper kemudian menambahkan bahawa fakta saintifik justeru harus dapat dipertanyakan dan diuji untuk melihat apakah bisa disangkal. Dengan kata lain, fakta itu objektif. Atau setidaknya berusaha menjadi objektif. Fakta tidak menunggu izin kita untuk tetap ada.
Namun, manusia tidak hidup hanya dengan fakta. Kita hidup dengan makna. Di sinilah kebenaran masuk. Kebenaran bukan sekadar sesuatu yang sesuai kenyataan, tetapi sesuatu yang kita tafsirkan menurut sudut pandang tertentu. Aristoteles menyatakan bahawa sebuah pernyataan benar ketika sesuai dengan apa yang terjadi. Sebuah pengertian yang tampak mudah, namun sebenarnya sangat bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan kenyataan itu sendiri.
Kant kemudian mengingatkan bahwa pemikiran kita tidak pernah melihat dunia secara polos. Dunia selalu diproses melalui kategori-kategori dalam pikiran. Artinya, apa yang kita sebut benar tidak pernah sepenuhnya bebas dari cara pikiran kita bekerja. Heidegger lebih jauh menyatakan bahwa kebenaran bukanlah sekadar kecocokan antara pernyataan dan realitas, tetapi proses tersingkapnya makna di hadapan manusia. Kebenaran adalah pengalaman yang membuat sesuatu menjadi jelas, terbuka, dan dapat dipahami.
Michel Foucault memberikan kritik yang jauh lebih radikal. Bagi masyarakat mana pun, kebenaran bukan sekadar sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang dihasilkan oleh kuasa. Hal ini menunjukkan bagaimana sekolah, negara, agama, universitas, dan media membentuk apa yang boleh disebut sebagai benar. Dalam pandangan Foucault, kebenaran tidak pernah netral. Selalu berada dalam jaringan kepentingan dan peraturan yang menentukan siapa yang boleh berbicara dan apa yang dianggap sah. Inilah sebabnya mengapa suatu narasi sejarah bisa berlangsung ratusan tahun meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta kerana didukung oleh institusi yang memproduksinya sebagai kebenaran.
Sebagai contoh yang dekat adalah penaklukan Karangasem ke atas Lombok adalah fakta sejarah. Itu terjadi, tercatat, dan didukung oleh bukti. Tetapi apakah penaklukan itu dianggap 1) peradaban, 2) penindasan, atau 3) asimilasi budaya, itu bukan lagi fakta. Hal tersebut adalah kebenaran yang diproduksi oleh wacana. Seorang sejarawan kolonial mungkin melihatnya sebagai perluasan budaya. Seorang nasionalis melihatnya sebagai bentuk dominasi. Seorang antropolog mungkin melihatnya sebagai momen penting pembentukan identitas hibrid. Fakta sama, tetapi kebenarannya berubah.
Itulah sebabnya mengapa kita sering salah faham. Kita mengira apa yang kita sebut kebenaran adalah fakta. Padahal itu adalah interpretasi. Interpretasi bisa bijak, bisa jujur, bisa sangat berasaskan data. Tetapi, sekali lagi hal tersebut tetaplah interpretasi. Kebenaran selalu membutuhkan bahasa, konsep, dan sejarah yang menopangnya. Fakta tidak memerlukan semua itu.
Tetapi kebenaran bukan berarti bohong. Bukan juga rekaan. Kebenaran adalah usaha manusia memahami dunia dengan cara yang membuat dunia itu bermakna. Bahkan sains, yang selalu berusaha dekat dengan fakta, tidak bebas dari kebenaran yang dibentuk oleh teori dan kerangka pemikiran. Data yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda oleh teori yang berbeda. Fakta adalah titik awal. Kebenaran adalah bangunan pemahaman yang kita dirikan di atas titik itu.
Adorno mengingatkan bahawa kebenaran tidak pernah lengkap. Selalu bergerak, berubah, dan berbenturan dengan pengetahuan baru. Kebenaran adalah proses kritik terus-menerus terhadap dunia dan terhadap diri kita sendiri. Justeru kerana tidak pernah tuntas, kebenaran membuat kita terus belajar, membaca, dan berdebat.
Memahami perbedaan ini penting kerana jika kita mencampuradukkan fakta dan kebenaran, kita mudah termakan propaganda. Kita mudah percaya pada narasi yang terasa benar tetapi tidak didukung oleh data. Kita juga mudah menolak fakta hanya kerana bertentangan dengan kebenaran yang telah lama kita anut. Banyak konflik sosial lahir bukan kerana perbedaan fakta, tetapi kerana perbedaan kebenaran yang masing-masing dipertahankan sebagai yang mutlak.
Karena itu, saya tidak bisa menampik fakta Usman dan Acip yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun kebenaran Usman dan Acip sebagai manusia baik tidak akan sirna karena fakta tersebut.
Malaysia, 21 November 2025.