(Dokumentasi Imajiner ke taman Pahlawan)

 

Oleh : Husni Ansyori, pemulung kata-kata

Setelah menempuh perjalanan cukup panjang dan melelahkan, tibalah sepuluh orang pahlawan itu di kompleks elit yang baru. Kedatangan mereka disambut dengan seremoni khas komplek menyambut penghuni baru. Lagu-lagu daerah, blues barat, keroncong hilir mudik bergantian diperdengarkan dari corong panitia. Tenda-tenda berumbai dominan merah putih dipasang sepanjang jalan komplek. Akses keluar masuk komplek ditutup sementara.

Dijajaran terdepan tampak pria tampan berkaca mata hitam, si Bung, dengan cerutu Kuba ditangan. Duduk menyamping di sofa dengan kaki disilangkan. Disampingnya pria pendiam berkaca mata yang nampak sederhana tapi berwibawa-mahaguru Bangsa, Hatta. Berjejer ke kiri dan kanan, para pahlawan yang fotonya sering muncul di buku-buku sejarah, koran dan televisi. Rendra, lengkapnya Willibrordus Surendra Broto Rendra, juga ada. Dia menempati kursi deret belakang. Mungkin agak terlambat datang karena harus “memandikan” burung meraknya dulu, atau latihan menghafal ulang MEGATRUH, karena panitia mengabarkan akan diberi kesempatan _opening perform_ diacara sakral itu.

Satu persatu ke sepuluh orang pahlawan baru itu diperkenalkan. Panitia memperkenalkan dengan sangat santun, dimulai dari para kiya dan tokoh, menyusul para raja atau sultan, kemudian pejuang-pejuang sipil. Untuk perkenalan mantan presiden, panitia mengagendakan paling belakang. Pasti paling meriah tepuk tangannya, dugaan panitia.

Begitu nama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, disebut, mendapatkan _standing applaus_ paling panjang. Tapi, Gus Dur tidak tampak berdiri atau naik panggung. Tunggu punya tunggu, ternyata Gus Dur masih di meja prasmanan. Dia ditemani (minta dituntun) Marsinah. WS Rendra sebagai tokoh yang tergolong paling berperi di kompleks itu langsung berinisiatif menghampiri Gus Dur dan menuntunnya berjalan ke Panggung. Tepuk tangan kembali bergemuruh. Pembawa acara (MC) sempat melontarkan pertanyaan ke Gus Dur, “Kok kesitu dulu, Gus? Seperti biasa, Gusdur seentengnya menjawab, “Lha _wong_ lapar kok disuruh apel, yo makan dulu toh.” Mendengar spontanitas Gus Dur, suasana makin gerr.

Sebelumnya, beredar di koran-koran terbitan pagi, sebenarnya Gus Dur keberatan harus pindah ke kompleks baru. Dia sudah nyaman ditempat lama. Tanpa protocol ketat. Bahkan layanan kurir berbagai platform online bebas keluar masuk ke flat Gus Dur. Santri dan aktifis bisa dia panggil kapan saja.

*Kembali ke acara.* Soekarno, penghuni paling super priorotas belum sekalipun mengarahkan pandangan ke Soeharto. Padahal si Bapak Pembangunan sudah pasang mode caper. Bung Hatta yang teduh dengan sikap tenangnya justeru membuat pak Harto jadi salah tingkah. Meskipun dalam sesi seruput kopi, pak Harto berulangkali sengaja menaikkan volume suara saat membincangkan Pancasila dan ekonomi ke lawan bicaranya. Kedua bung tetap cuek bebek dengan fikiran dan style-nya. Malah menyalami dan berpincang panjang dengan Gus Dur yang duduk sambil _pegangin_ siwak Kiyai Kholil Bangkalan.

Setelah icip-icip hidangan dan seruput kopi, sesi selanjutnya jalan-jalan pengenalan kompleks. Tadinya, panitia ingin mengatur dalam satu kereta kencana elektrik (sejnis golf cart) penumpangnya berbaur penghuni lama dan baru, agar akrab. Tapi di golf cart yang dikemudikan sendiri Bung Karno sudah sarat dengan penduduk tetap. Disampingya menumpang Bung Hatta, Naution, pahlawan revolusi, dan beberapa yang lain. Kalau Gus Dur memang minta ditemani khusus oleh Rendra yang sekaligus pemandunya menggunakan golf cart paling belakang.

Unit hunian pertama yang dilewati, bertuliskan proklamator – putra pajar. Sangat jelas siapa pemiliknya, verry very imprtant. Kavling berikutnya menampakkan banner sederhana bertuliskan proklamator, tapi lampu-lampu disudut rumah ber-voltase kecil. Demikian juga bunga-bunga tamannya khas flora Nusantara, tidak mahal tapi asri. Tanpa dijelaskan, pemiliknya sedang mengajarkan kesahajaan bermakna.

Hunian lainpun dengan khas masing-masing penghuni, sesuai selera dan masa lalunya. Kiya dan Sultan sudah dipastikan senyaman mungkin, termasuk dendeng rusa lauk kesukaan baginda Sultan Salahudin Bima, free order.

Akhirnya satu persatu penghuni baru sudah menempati “istana” barunya. Di kediaman pak Harto lemari kacanya sudah tersimpan buku-buku penataran P4 (Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila) hingga kitab GBHN (Garis-garis Bersar Haluan Negara) semua periode. Dinding dihiasi foto-foto panen raya-termasuk panen Gogo Rancah di Lombok Selatan. Juga di repro foto-foto pertemuan dengan Kelompen capir, foto mancing di laut, hingga kenang-kenangan foto bersama kepala pemerintahan dan kepala negara sahabat.

Dan, tibalah di kediaman Gus Dur. Seperti hunian lain, di lemari-lemari mewah ada buku-buku berbahasa asing, berbahas jawa, kitab-kitab kuno dan modern, pemutar music klasik, dan tidak ketinggalan sajadah termahal. Di sisi lain ada mini theater, bioskop rumah, dan tentu mushalla besar seukuran masjid.

Gusdur mencoba toilet, karena dari tadi Nampak kebelet kadak hajat. Rendra dan petugas menuntunnya cekatan. Gus Dur keluar dari toilet megah itu masih mengenakan kolor. Gus Dur berkolor, satu-satunya foto penting yang ndak ada dalam hunian tersebut. Kemudian Gus Dur bicara separuh pidato, dan berikut petikannya: _Jadi saya bukannya tidak menghargai pemberian fasilitas baru ini, saya sampaikan terima kasih kepada junior saya, Prabowo, serta ke pengusul para pahlawan. Masyarakat tidak ada yang keberatan saya disini, apalagi santri-santri. Tapi justru saya yang keberatan dipindah kesini ini, karena yang saya fikirkan itu anak-anak PMII (pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) tidak akan lolos screening masuk komplek ini jika jenguk saya. Kecuali PMII yang bisa ke legislative biasanya sudah kinclong. Persoalannya, anak PMII yang sudah melenggang ke DPR/D tidak saya terima, karena ganyanya selangit._

Mengakhiri bicaranya, Gus Dur tegas. “Jadi kembalikan saya ke Jannah Tuhan yang untuk saya meski seupil itu.” Demikian, Gus Dur. Akhirnya panitia mengalah, Gus Dur diantar kembali ke “rumah” lamanya.

11 November 2025 (tulisan 2)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *