Oleh:

Khairul Hamim

Moh. Asyiq Amrulloh

 

Perkawinan dan perceraian merupakan institusi hukum yang tidak hanya menyangkut relasi personal, tetapi juga merefleksikan struktur sosial, ideologi negara, serta relasi antara agama dan hukum. Indonesia dan Turki, dua negara dengan populasi Muslim terbesar dan sejarah hukum yang berbeda, menyajikan model legislasi dan implementasi hukum perkawinan-perceraian yang patut dikaji secara komparatif. Keduanya berada di antara tarik-menarik antara modernitas dan tradisi, antara sekularisme dan syariat, antara HAM dan norma agama.

Indonesia: Dualisme Hukum dan Legitimasi Agama

Di Indonesia, legislasi hukum keluarga diatur terutama oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diperkuat oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Islam. Meskipun UUP 1974 bersifat nasional, implementasinya sangat dipengaruhi oleh agama pemeluknya. Mahkamah Agung dan Pengadilan Agama memiliki peran sentral dalam mengatur dan memutus perkara-perkara keluarga untuk Muslim, sedangkan non-Muslim tunduk pada hukum perdata umum.

Undang-undang ini menekankan asas monogami (Pasal 3), kecuali apabila suami mendapat izin dari pengadilan untuk berpoligami, dengan syarat-syarat tertentu. Perceraian diatur secara ketat agar tidak mudah terjadi, diperlukan proses persidangan, alasan yang jelas, dan pengesahan dari pengadilan. Meskipun demikian, praktik “cerai talak” masih cukup dominan dalam realitas sosial, menandakan adanya ketimpangan antara hukum normatif dan realitas kultural.

Turki: Sekularisme dan Reformasi Hukum Sipil

Turki merupakan contoh negara dengan pendekatan sekular penuh terhadap hukum keluarga. Sejak reformasi hukum di era Mustafa Kemal Atatürk, hukum perkawinan dan perceraian diatur dalam Turkish Civil Code (Türk Medeni Kanunu), yang sepenuhnya mengadopsi model hukum Swiss dan memisahkan agama dari urusan privat.

Di Turki, semua perkawinan dan perceraian dilakukan di hadapan otoritas sipil, bukan keagamaan. Poligami dilarang secara eksplisit dalam hukum sipil, dan perceraian dapat diajukan oleh salah satu pihak berdasarkan prinsip kesetaraan gender. Dengan demikian, perempuan memiliki hak yang sama untuk mengajukan cerai, meminta hak asuh anak, dan menuntut pembagian harta secara adil. Hal ini menjadikan sistem Turki relatif lebih progresif dari sisi kesetaraan hukum.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, terutama di bawah pemerintahan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), terdapat tekanan dari kelompok konservatif untuk memberi ruang pada hukum Islam dalam praktik sosial, meskipun tidak secara formal di dalam undang-undang. Tensi ini menandakan adanya dinamika antara identitas Islam dan prinsip sekularisme yang masih berlangsung.

 

Komparasi Kritis: Negara, Agama, dan Hak Asasi

Perbedaan mendasar antara Indonesia dan Turki terletak pada pendekatan terhadap peran agama dalam hukum. Indonesia menerapkan sistem hukum ganda (dual legal system) yang mengakomodasi hukum Islam, sementara Turki mengadopsi monisme hukum sipil dengan eksklusi terhadap hukum agama.

Dalam hal implementasi, Indonesia menghadapi tantangan dalam hal kesenjangan antara teks hukum dan praktik sosial, terutama dalam perlindungan terhadap perempuan dan anak pasca-cerai. Di sisi lain, Turki menghadapi tantangan dalam menjaga integritas sistem sekular di tengah desakan identitas keislaman. Namun, keduanya masih menghadapi tantangan serupa dalam menyeimbangkan antara norma agama, nilai budaya, dan prinsip hak asasi manusia internasional, khususnya terkait isu kesetaraan gender, perlindungan anak, dan kebebasan beragama.

Rekomendasi: Menuju Sistem Hukum yang Adil dan Inklusif

Untuk itu beberapa rekomendasi dapat dikemukakan dalam rangka menggapai sistem hukum yang adil dan inklusiaf antara lain: Pertama, reformasi legislasi berbasis HAM yakni Indonesia perlu memperkuat aspek kesetaraan dalam hukum keluarga melalui revisi UUP 1974 agar lebih inklusif dan berkeadilan gender, serta memberi ruang partisipasi lebih luas bagi perempuan. Kedua, penegakan hukum yang konsisten dan sensitif gender di mana lembaga peradilan harus mengedepankan prinsip keadilan substantif dalam menangani perkara perceraian dan hak-hak pasca-perkawinan. Ketiga, dialog lintas norma bahwa Turki dan Indonesia dapat saling belajar melalui forum hukum Islam internasional tentang cara mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dengan sistem hukum nasional tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan HAM. Keempat, pendidikan hukum keluarga yakni masyarakat perlu diberikan edukasi hukum yang komprehensif, bukan hanya secara formal, tetapi juga melalui pendekatan kultural dan agama yang progresif.

Walhasil, legislasi dan implementasi hukum perkawinan dan perceraian di Indonesia dan Turki mencerminkan wajah kompleks dari dinamika antara agama, negara, dan hak asasi manusia. Di tengah gelombang globalisasi dan tuntutan modernitas, keduanya harus terus berbenah, dengan tetap menjaga identitas nasional sekaligus menjamin keadilan substantif bagi semua warga negara. Ketahanan suatu bangsa di masa depan sangat ditentukan oleh keadilan dan keberadaban dalam mengatur institusi keluarga. Wallohul haq wa a’lam bi al-shawab.

Keterangan Foto:

Khairul Hamim. (Foto: dokumen pribadi)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *