DUDUK di barisan depan, Ketua PWI NTB, Nasrudin, tampak lebih banyak menatap lantai. Bukan karena gugup. Tapi seperti sedang menahan sesuatu. Bukan marah, bukan sedih. Barangkali karena beban: menjaga marwah organisasi wartawan tertua ini, katanya, bukan perkara ringan.

Konferensi Provinsi (Konferprov) PWI NTB akan digelar 2 Agustus. Tapi atmosfernya sudah terasa panas sejak sebulan lalu. Bukan karena gagasan yang saling beradu. Tapi karena bisik-bisik soal “harga suara” yang mulai beredar di warung kopi dan grup WhatsApp.

“Jangan jual suara. Itu bukan barang dagangan,” tegasnya dalam acara pelantikan Pengurus PWI Kabupaten Bima, periode 2025–2030. Tegas. Jelas. Dan seolah mengarah ke banyak pihak.

Suara itu, katanya lagi, adalah amanah. Ia bukan milik pribadi. Bukan pula tiket menuju kekuasaan kelompok. Organisasi ini bukan perusahaan yang bisa dikendalikan lewat saham mayoritas. Organisasi ini adalah rumah. Dan rumah—seharusnya—tidak dijual pada siapa pun.

Lalu berdirilah Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI NTB, Ir. Ahmad Sukisman Azmy. Mantan anggota DPD RI itu seperti membuka lembaran buku lama—tentang sejarah panjang dan berliku menjadi tuan rumah Hari Pers Nasional (HPN) di Mandalika.

“Waktu itu kita butuh Rp 8 miliar. Yang disiapkan pemerintah NTB hanya Rp 3 miliar,” katanya. Bukan dalam nada mengeluh. Tapi seperti luka yang belum betul-betul sembuh. HPN 2016 itu akhirnya terlaksana. Tapi bukan tanpa air mata dan peluh.

Wartawan seluruh Indonesia datang. Mandalika mulai dikenal. Tapi mereka tidak tahu, betapa alotnya mencari sponsor. Betapa kerasnya meyakinkan orang-orang yang merasa tak perlu lagi peduli pada marwah pers.

Sebab itu, ketika Sukisman menyarankan agar Konferprov PWI NTB dilakukan secara musyawarah, bukan voting, bukan pula manuver politik—itu bukan karena lelah. Tapi karena ia tahu: jika suara sudah diperjualbelikan, maka nilai-nilai organisasi pun ikut dilelang.

Ia juga sempat mengingatkan: akurasi dalam pemberitaan harus kembali jadi harga mati. “Kalau tidak tahu, jangan tulis. Kalau ragu, klarifikasi. Kita ini bukan penulis status, kita ini wartawan,” ujarnya—tajam tapi lembut.

Pelantikan pengurus PWI Bima hari itu berlangsung sederhana. Tapi suasananya terasa sakral. Seperti doa diam-diam dari para wartawan senior—yang ingin rumah ini tetap berdiri utuh. Bukan jadi panggung sandiwara. Bukan pula tempat rebutan posisi.

Konferprov PWI NTB hanya tinggal hitungan jam. Tapi ini bukan soal siapa menang dari tiga calon yang akan bertarung, Abdus Syukur, Nasrudin dan Ikliludin. Ini soal cara. Soal integritas. Soal mempertahankan marwah.

Kalau Anda masih percaya bahwa profesi ini punya kehormatan, maka Konferprov itu bukan sekadar pemilihan. Ia adalah ujian. Untuk kita semua. (abdus syukur)

By Radar Mandalika

Mata Dunia | Radar Mandalika Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *