Wartawan juga manusia.
Punya anak. Punya cicilan. Punya dapur yang harus tetap ngebul. Gaji dari kantor seringkali hanya cukup untuk bertahan. Bertahan, bukan hidup layak. Maka muncullah pertanyaan klasik: bolehkah wartawan punya penghasilan sampingan?
Jawabannya: boleh. Tapi jangan sampai profesi tergadai.
Saya pernah bertemu seorang wartawan. Tulisannya tajam. Kritiknya pedas. Tapi ia juga buka warung kopi di sudut kota. Ramai. Tempat nongkrong anak muda. Warungnya itu jujur—tidak ditopang iklan gelap, tidak ditopang narasumber. Dan dia tidak pernah meminta pejabat datang meresmikan.
Etis? Sangat. Bahkan membanggakan.
Tapi saya juga tahu ada yang lain. Wartawan yang menjadikan profesinya sebagai kartu sakti. Mengambil fee dari narasumber. Menjual berita atau menahan berita. Ada juga yang membuka “konsultan krisis”—kerjanya bukan memberi solusi, tapi menghilangkan berita.
Yang seperti ini bukan lagi wartawan. Tapi calo informasi.
Maka, batasnya sebenarnya sederhana. Kalau side income itu membuatmu kehilangan keberanian menulis yang benar, tinggalkan. Kalau kamu ragu menulis tentang seseorang karena kamu punya urusan bisnis dengannya, berhenti. Kalau kamu mulai hitung-hitungan sebelum megang pena, ya sudahlah—tinggalkan saja dunia ini.
Profesi ini memang berat. Idealnya tidak miskin. Tapi kenyataannya banyak yang harus mengorbankan idealisme demi isi tas. Maka side income menjadi solusi. Tapi hanya jika tidak menyandera integritas.
Boleh jadi trainer? Boleh.
Bikin channel YouTube? Monggo.
Jualan nasi bungkus atau ternak ayam? Kenapa tidak.
Asal bukan jadi makelar liputan.
Karena wartawan sejati bukan hanya ditentukan oleh berapa banyak berita yang ditulis, tapi berapa banyak hal yang ditolak demi menjaga harga diri. (abdus syukur)