Oleh: Abdus Syukur*
Dunia pemberitaan sedang mengalami perubahan besar-besaran. Tapi bukan karena revolusi digital. Itu sudah lewat. Sekarang kita masuk fase baru: invasi medsos oleh lembaga pemerintah.
Semua OPD kini punya akun. Bukan hanya akun, tapi juga admin, tim kreatif, hingga narasi satu arah yang dikemas seolah-olah informasi netral. Polres buat reels. RSUD unggah TikTok. Dinas Pertanian membuat podcast.
Mereka tidak lagi menunggu wartawan datang. Mereka menyiarkan sendiri aktivitasnya—lengkap dengan angle, visual, dan bahkan narasi heroik.
Media online mulai tersisih pelan-pelan, tanpa disadari. Karena ruang publiknya diambil oleh institusi yang seharusnya hanya menjadi narasumber, bukan penyiar.
Inilah era di mana pemerintah tampil sebagai pemilik panggung, bukan lagi pemain latar. Mereka bicara langsung ke publik, dengan gaya yang seringkali lebih menarik ketimbang siaran pers wartawan.
Pertanyaannya: apa yang tersisa untuk media online?
Jawabannya bukan pada menyalahkan pemerintah. Tapi pada kemauan media untuk berubah. Fungsi kontrol sosial dan kemampuan investigatif jurnalis tak bisa digantikan oleh admin medsos.
Kalau hanya unggah foto kegiatan lalu bikin caption, ya admin juga bisa. Tapi wartawan harus bisa lebih dari itu. Wartawan harus menjelaskan konteks, dampak, dan makna dari setiap kegiatan.”
Lalu bagaimana solusinya?
Pertama, media harus kembali pada jurnalisme. Bukan sekadar copy-paste rilis atau mewartakan kegiatan seremonial. Tapi menggali informasi yang tak tampak di kamera dinas.
Kedua, media online wajib meng-upgrade dirinya: dari media cepat menjadi media cerdas. Bukan siapa yang duluan upload, tapi siapa yang mampu menyuguhkan analisis dan kredibilitas.
Ketiga, justru inilah saatnya media membangun kemitraan yang adil dengan lembaga pemerintah. Bukan sekadar menjadi “corong”, tapi tetap mengawal dengan independensi.
Kita ini wartawan. Kita bukan tukang upload. Kita punya tanggung jawab sejarah: menjaga kewarasan publik lewat informasi yang utuh, akurat, dan bertanggung jawab.
Kalau tidak, jangan kaget kalau suatu saat nanti, publik lebih percaya akun Instagram dinas daripada media online lokal. Dan itu bukan lagi masa depan. Itu sudah mulai hari ini.
* Wakil Ketua PWI NTB